Sejak Indonesia merdeka, pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum sesuai dengan demokrasi Pancasila, yaitu demokrasi yang bersandar pada Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Bahkan akhir-akhir ini praktik demokrasi Indonesia mendapat ancaman serius dari kekuatan oligarki, politik identitas, dan juga pragmatisme. Penyimpangan praktik demokrasi Indonesia tersebut bisa disebabkan karena belum dirumuskannya demokrasi Pancasila. Oleh karena itu, menjadi sangat penting perlunya dirumuskan demokrasi Pancasila yang akan menjadi dasar (relevan) bagi praktik demokrasi di Indonesia.
.
praktik demokrasi Indonesia mendapat ancaman serius dari kekuatan oligarki, politik identitas, dan juga pragmatisme
Penelitian ini membandingkan pemikiran filsafat Pancasila Notonagoro dan Drijarkara. Perbandingan mencakup tiga hal pokok, yakni dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Analisis data menggunakan metode deskripsi, komparasi, kesinambungan historis, intepretasi, dialektika, dan heuristika.
Studi ini menemukan bahwa baik Notonagoro maupun Drijarkara mengemukakan bahwa Pancasila merupakan sistem filsafat atau dalil-dalil filsafat. Dalil itu dicari rumusannya dalam filsafat manusia sebagai dasar ontologisnya. Bagi Notonagoro, manusia dalam kodratnya adalah monopluralis. Bagi Drijarkara, manusia adalah kebhinekaan tunggal (dwaita-adwaita). Manusia yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani ini juga disebut Drijarkara sebagai persona. Dasar epistemologi Notonagoro dan Drijarkara berbeda. Notonagoro menggunakan analitika bahasa dan abstraksi, sedangkan Drijarkara menggunakan fenomenologi. Dasar aksiologi Notonagoro dan Drijarkara juga berbeda. Notonagoro merumuskannya ke dalam subjektivitas subjektif dan objektif, sedangkan Drijarkara dalam sikap-sikap manusia Pancasila. Filsafat Pancasila sebagai hasil sintesa (rekonstruksi) dari pandangan Notonagoro dan Drijarkara menjadi dasar bagi pengembangan demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila yang akan menjadi dasar bagi pengembangan demokrasi Indonesia ini tidak hanya demokrasi politik, tapi demokrasi sosial ekonomi.
Kata Kunci :
Demokrasi Pancasila, Drijarkara, Filsafat Pancasila, Notonagoro, perbandingan
Garis Besar Isi Buku
Buku ini berusaha merumuskan hakikat manusia Pancasila yang dirumuskan dengan cara membandingkan pemikiran Notonagoro dan Drijarkara. Dua filsuf dari Universitas Gadjah Mada dan STF Drijarkara. Pancasila dalam kesatuan sila-sila Pancasila adalah wujud kodrat manusia untuk meraih kebagiaan. Sila-sila dalam Pancasila menjadi kesatuan atau rangkaian tak terpisahkan karena kodrat manusia monopluralis atau kedwitunggalan hanya mungkin terealisasi jika dalam kehidupan bersama menyandarkan diri pada kelima prinsip dalam Pancasila. Jika satu di antaranya dihilangkan, maka realisasi atas kebahagiaan manusia dalam kehidupan bersama tidak akan dapat tercapai. Pandangan ini kiranya telah dibuktikan dengan baik dalam keseluruhan pengalaman masyarakat Indonesia. Ambillah contoh gotong-royong yang menjadi ciri dominan masyarakat Indonesia meski terminologinya berbeda-beda. Di Dayak Manyaan di Kalimantan Selatan, gotong-royong diwujudkan dalam bentuk pembangunan rumah yang disebut sebagai ngarawah namun lewo. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, gotong-royong membangun rumah disebut sambatan dan markarah di Simalungun, Sumatera Utara (Panjaitan, 2016: 19). Selain dalam pembangunan rumah, gotong-rotong dapat ditemukan dalam banyak kegiatan di masyarakat. Gotong-royong tidak mungkin terlaksana tanpa ada semangat kerja sama, tanpa ada cinta kasih di dalamnya, tanpa dilandasi tabiat sholeh.

Realisasi kehidupan bersama mensyaratkan adanya penghormatan atas manusia, kesatuan komunitas (bangsa), demokrasi, dan keadilan. Namun, kodrat manusia tidak hanya dalam dimensi sosialitasnya. Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam kodratnya juga percaya akan keberadaan dzat yang maha berkuasa, sang Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Jika demikian, maka realisasi kebahagiaan manusia harus pula menyertakan Tuhan dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, manusia harus dijamin untuk merealisasikan kodratnya untuk percaya dan menyembah Tuhan-nya sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
realisasi kebahagiaan manusia harus pula menyertakan Tuhan dalam kehidupan manusia
Pertama dan yang paling utama adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar moralitas. Moral terkait dengan pilihan baik dan buruk sehingga Tuhan haruslah menjadi pertimbangan dan dasar utama atas pilihan-pilihan tindakan. Dengan kata lain, Tuhan merupakan dasar moralitas tertinggi. Dalam kaitannya dengan sila pertama ini, Panitia Lima mengatakan sebagai berikut (Hatta dkk, 1980: 40).
Pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dan persaudaraan antara manusia dan bangsa. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya membela kebenaran, dengan kelanjutannya: menentang segala yang justa. Pengakuan itu mewajibkan manusia dalam hidupnya membela keadilan, dengan lanjutannya: menentang atau mencegah kezaliman. Pengakuan itu mewajibkan manusia dalam hidupnya berbuat baik, dengan kelanjutannya: memperbaiki kesalahan. Pengakuan itu mewajibkan manusia dalam hidupnya berbuat jujur, dengan kelanjutannya membasmi kecurangan. Pengakuan itu mewajibkan manusia dalam hidupnya berlaku suci, dengan kelanjutannya menentang segala yang kotor, perbuatan ataupun keadaan. Pengakuan ini mewajibkan manusia dalam hidupnya menikmati keindahan, dengan kelanjutannya: melenyapkan segala yang buruk.
Sila kedua adalah Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini bersifat universal sehingga menjadi dasar moralitas berikutnya setelah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hatta dkk (1980: 41) mengemukakan bahwa “dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti disebutkan tadi, tak lain dari kelanjutan perbuatan dalam praktik hidup daripada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar yang memimpin tadi.” Oleh karena itu, menurut Hatta dkk, letaknya dalam urutan Pancasila tidak dapat dipisahkan dari Ketuhanan Yang Maha Esa karena sifatnya yang universal, terlepas dari batas-batas negara. Lebih lanjut, Hatta dkk mengatakan bahwa dasar kemanusiaan ini berakar pada kehendak Tuhan Yang Maha Esa selanjutnya tercermin dalam sila keempat (Kerakyatan) dan sila kelima (Keadilan).
Sila ketiga, keempat, dan kelima adalah realisasi kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian, ia menjadi dasar kehidupan bersama. Jika sila kelima adalah tujuan hidup bersama, dan sila keempat merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup bersama dalam bentuk keadilan tadi, maka sila ketiga adalah prasyarat bagi kerakyatan dan keadilan. Artinya, kerakyatan (demokrasi) yang merupakan antisipasi atas kegagalan cinta kasih dalam kehidupan bersama sebagai sarana untuk meraih keadilan harus di atas dasar sila ketiga (persatuan). Ini mensyaratkan adanya pengakuan akan perbedaan dan kesadaran untuk menjaga persatuan. Maka, demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi yang berbasis kompetisi dan memecah-belah. Demokrasi harus selalu dan senantiasa menjaga kesatuan komunitas sebagai bangsa, menjaga dan menghormati pluralitas. Dengan kata lain, demokrasi adalah kedaulatan rakyat, tapi hal itu harus diletakkan di atas dasar kesatuan komunitas (bangsa). Jika tidak, maka demokrasi mungkin hanya akan menimbulkan konflik, dan keadilan sosial sebagai tujuan kehidupan bersama akan sulit diwujudkan
Dasar dan Prinsip Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bersandar pada filsafat Pancasila. Demokrasi yang tidak hanya berakar pada budaya bangsa, tapi sekaligus demokrasi yang mampu menjawab kebutuhan dalam meraih tujuan nasional Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Adapun ciri demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut.
a. Berdasar Sila Keempat, Dijiwai Sila Pertama dan Sila Kedua, Disemangati Sila Ketiga, dan Berorientasi Sila Kelima.
Sila keempat adalah dasar demokrasi Pancasila. Namun, sila keempat Pancasila tidak berdiri sendiri. Sebaliknya, ia terkait dan terhubung dengan sila-sila lainnya sebagai kesatuan sesuai kodrat manusia. Artinya, demokrasi Pancasila tidak semata bersandar pada sila keempat, tapi juga keseluruhan sila-sila Pancasila lainnya yang saling menjiwai sebagai realisasi kodrat manusia. Dengan demikian, ukuran demokrasi Pancasila tidak semata pada kehendak rakyat seperti dalam pemahaman demokrasi umum, yakni pemerintahan dari, untuk, dan oleh rakyat, tapi mencakup pula di dalamnya dasar moralitas tertinggi, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, berprinsip pada Persatuan dan bertujuan mencapai Keadilan sosial. Artinya, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, sekaligus yang dijiwai oleh moralitas ketuhanan, kemanusiaan, semangat persatuan dengan tujuan demi meraih keadilan sosial. Oleh karena itu, demokrasi Pancasila mencakup demokrasi politik dan sosial ekonomi (Notonagoro, 1987).
b. Berdasarkan Tabiat Shaleh dan Cinta Kasih
Dalam pemahaman umum dan praktik demokrasi Indonesia dewasa ini, demokrasi dipahami sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan sebagai pembagian tanggung jawab. Oleh karena demokrasi dipahami sebagai perebutan kekuasaan, masing-masing pihak yang berkontestasi dalam demokrasi menjadikan pihak lain sebagai objek. Dalam relasi subjek-objek, ada instrumentalisasi pihak lain sehingga tidak ada cinta kasih di dalamnya. Instrumentalisasi ini telah membuat demokrasi tidak dipahami dalam usahanya untuk membangun kehidupan bersama dalam kerja sama, tapi persaingan. Dalam banyak kasus, persaingan itu bahkan menjadi pertengkaran. Pertengkaran terjadi karena tiadanya cinta kasih. Oleh karena itu, pelaksanaan demokrasi Pancasila sebagai upaya untuk mencapai demokrasi politik dan demokrasi sosial ekonomi demi meraih kebahagiaan, harus berlandaskan empat tabiat shaleh, yaitu dengan menggunakan watak kehati-hatian, watak keadilan, watak kesedherhanaan, dan watak keteguhan. Selain itu, sesuai dengan pikiran Drijarkara bahwa hidup bersama harus dilandasi cinta kasih merupakan dasar demokrasi yang kuat. Dengan cinta kasih, manusia akan bekerja sama. Dengan cinta kasih, persaingan dilihat sebagai semangat untuk mencapai kebaikan.
c. Musyawarah Berdasarkan Hikmat Kebijaksanaan
Esensi sila keempat adalah “rakyat”, musyawarah mufakat dan hikmat/kebijaksanaan. Ini menunjukkan demokrasi Indonesia adalah demokrasi kerakyatan. Meskipun demikian, kedaulatan rakyat dalam konsepsi demokrasi yang paling umum dapat saja dicari dalam demokrasi prosedural, sedangkan proses-proses pengambilan keputusan dapat dicari dalam beragam cara. Dalam demokrasi liberal, dicapai melalui satu orang satu suara, tetapi dalam demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang didasarkan musyawarah dengan hikmat/kebijaksanaan.
Kebijaksanaan (kata benda) berasal dari kata bijaksana (kata sifat), yang artinya kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya) atau kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya. Bijaksana itu sendiri diartikan sebagai (1) selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; dan (2) pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya (kbbi, edisi keempat, 2008). Maka, musyawarah mufakat dalam ajaran sila keempat Demokrasi Pancasila, selalu terpancar kearifan, kehati-hatian, senantiasa menggunakan akal budi dan pikiran yang tajam. Setiap masalah akan diteliti dan dipecahkan secara hati-hati dengan menggunakan pengetahuan (akal) serta pengalaman dan kearifan (hati). Dengan begitu, solusi atas masalah benar-benar mempertimbangkan segala aspek, kebaikan dan keburukannya, semua suara didengar dalam proses musyawarah sehingga hasilnya benar-benar menjawab kebutuhan setiap orang.