“Nama menjadi eksistensi pertama”
(anonim)
AHA. Itulah ucapan spontan terlontar dari pikiran saya tatkala membaca dua opini Kompas pada hari Selasa, 22 Februari 2022. Opini pertama berasal dari Satriawan Salim tentang “Pendidikan Pancasila di Kurikulum Merdeka” dan opini kedua dari Yoseph Umarhadi dengan judul “Memperdebatkan Pancasila”. Lontaran AHA itu, post factum berubah menjadi UHUK. Awalnya, kilatan insight menerangi pikiran saya saat membaca tulisan Doktor Yoseph Umarhadi, namun kemudian saya terbatuk pasca membaca tulisan Satriawan Salim. Mengapa fenomen AHA bisa menjadi UHUK? Bila secara singkat dijawab, ada kontradiksi.
Opini saya ini akan memetakan kedua tulisan yang berkontradiksi tersebut, lalu saya akan memosisikan diri untuk merajut keduanya. Bak membalik tegangan magnet, dari tolak menolak menjadi tarik menarik. Hanya membalik!
Angst-Centrum
Umarhadi memulai tulisannya dengan merujuk pada dua guru besar yang mengalami keresahan: Pancasila yang sekarang, untuk tidak digunakan seperti Orde Baru. Umarhadi melakukan kilatan memori kolektif historis yang cacat dari praxis Pancasila, yaitu otoriter, doktriner, dan mempredasi musuh politik. Kehadiran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebenarnya menjadi angst-centrum (pusat keresahan) dari Umarhadi dan dua guru besar tadi. Keresahan itu berubah menjadi ketakutan, karena ideologi bila tidak diperdebatkan layaknya tubuh tanpa organ. Menjadi semacam zombie.
Untuk itu, aparatus kekuasaan memerlukan beragam tafsir baru dalam menerjemahkan BPIP ke dalam konsepsi bios politikos warga yang dijalani seadaadanya, atau yang disebut Giorgio Agamben sebagai “bare life”. Tafsir-tafsir yang diharapkan oleh Umarhadi dijangkarkan dalam diskursus filsafat. Drijarkara dan Notonegoro menjadi referensi untuk tiba pada kebenaran sejati dalam Pancasila.
Diskursus itu dilakukan Satriwan Salim. Ia mempertanyakan tiga poin: pertama, bagaimana konstruksi keilmuan Pendidikan Pancasila? Kedua, apakah PKn bagian dari Pendidikan Pancasila? Ketiga, bagaimana hubungan PKn dengan Pendidikan Pancasila, dua disiplin berbeda dengan irisan persamaan atau memang menyatu?
Ketiga pertanyaan Salim, bagi saya, terasa sebagai suatu antinomi. Pikirannya bergerak melintasi sejarah kurikulum, mulai dari nama PMP (1975, 1984), PPKn (1994), PKn (2004), PPKn (2013), namun ignorantia, bahwa Pancasila menjadi “jiwa” dalam Kewarganegaraan. Pancasila bukan sekedar tubuh, organ, juga dilengkapi oleh “jiwa” (ruh). Dengan demikian, Pancasila menjadi hidup.
Konstruksi keilmuan Pendidikan Pancasila, ada dalam lima sila sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tuhan, Manusia, Persatuan, Musyawarah, dan
Keadilan menjadi bentuk konstruksi pemikiran mendasar yang perlu ada dalam diri warga negara secara konkret, dan kewarganegaraan secara abstrak. Pertanyaan kedua dari Salim, Pancasila tetap menjadi “ruh dasar” Pendidikan Kewarganegaraan (bukan sebaliknya). Imbasnya, baik Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan memang beririsan secara terdiferensiasi, namun menyatu dalam ideologi. Maksud yang pertama, secara akademis, Pendidikan Kewarganegaraan bila dirujuk dalam kajian Richard Dagger (1997) mensyaratkan adanya civic virtue (termasuk civic responsibility) dalam konteks pedagogi. Sedangkan Pendidikan Pancasila, idealnya diajarkan dengan jangkar filosofis, terutama perdebatan awal para pendiri bangsa saat Republik Indonesia didirikan. Persis pada poin inilah, posisi antara Umarhadi dan Salim berada.
Maksud yang kedua, dalam situasi ke-Indonesia-an, keduanya menyatu dalam putusan ideologi yaitu politik kebijakan. BPIP menjadi aktornya. Di sini pula, Umarhadi dan Salim mempertanyakan tentang peran BPIP dalam menjalankan marwah Pancasila. Ada dua lanjutan keresahan, pertama apa BPIP merupakan lanjutan dari BP7-nya Orde Baru (Umarhadi)? Dan kedua, mengapa BPIP mengubah PPKn menjadi Pendidikan Pancasila tanpa dilampiri naskah akademik (Salim)?
BPIP Menari Dalam Kontradiksi
BPIP mengemban tugas, membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standarisasi pendidikan … (pasal 3 Perpres No. 7 Tahun 2018). BPIP memegang tugas dan tanggung jawab yang memang tidak mudah, karena menjadi ideologi kebijakan. Maka, BPIP mempunyai peran sebagai pelaksana filsafat negara. Namun, tugas yang tidak mudah itu memproduksi kontradiksi, dengan mengganti PPKn menjadi Pendidikan Pancasila. Idealnya dalam PPKn, sudah ada muatan Pancasila dalam nama PPKn. Pancasila sebenarnya sudah menjadi bentuk pedagogi dalam kewarganegaraan. Hal ini sesuai dengan epigram di awal tulisan, nama menjadi eksistensi pertama.
Implikasi dari kontradiksi tersebut terletak pada para guru. Berganti nama pelajaran, tetapi guru tetap sama. Mereka “menari dalam kontradiksi”. Dengan segala kemampuan, mereka akan mengulangi materi-materi yang ada unsur Kewarganegaraan dan unsur Pancasila. Situasi ini menjadi suatu hal yang tak terelakkan. Ketidakmasuk-akalan tersebut meminta para ideolog untuk kembali mempertanyakan, apa Pancasila sudah final? Bila belum final, Pancasila sebaiknya menjadi penuntun dan bukan pengatur (Gerung, 2018). Untuk itu, para aparatus ideologi dalam BPIP, memerlukan diskursus dalam perdebatan yang lebih terbuka, agar kontradiksi yang dialami bisa menjadi bentuk-bentuk dialogis.
Terakhir, hal yang perlu diatasi dalam Pancasila kontemporer adalah tentang upaya menyembuhkan trauma atas memori kolektif Pancasila di Orde Baru. Muatan materi pembelajaran dalam kurikulum Merdeka, untuk itu perlu memberikan satu pertanyaan, bagaimana Pancasila bisa kembali dihidupi dalam keseharian para peserta didik dan tidak menjadi momok bagi generasi sebelumnya? Harapannya tumbuh generasi AHA dan bukan yang UHUK.