spot_imgspot_img

Buya Syafii Maarif : Lima Sila Pancasila Tidak Ada Persoalan dengan Teologi Islam

Pancasila yang sudah disepakati sebagai dasar negara Indonesia harus membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu, sehingga tuduhan bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila tidak berbeda dengan negara sekuler akan dapat ditangkal.

Demikian disampaikan Dosen Islamologi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Budhy Munawar-Rachman dalam diskusi rutin bertajuk “Pemikiran Islam Buaya A.Syafii Maarif” secara daring yang diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Sabtu (28/05/2022).

Pancasila yang hanya dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati dalam laku, kata Budhy hanya akan memperpanjang derita Bangsa Indonesia. Sementara, ungkap pendiri Nurcholish Madjid Society ini, tujuan kemerdekaan berupa tegaknya masyarakat yang adil dan makmur akan semakin menjauh.

Bagi Syafii, Budhy menuturkan, setelah dikaji dalam konteks kultur Indonesia, sampai sekarang tidak ada konsep lain yang tepat yang secara rasional dapat mengukuhkan persatuan dan keutuhan bangsa, kecuali lima dasar Pancasila. Kelima sila Pancasila itu jika dipahami secara benar dalam satu kesatuan tidak ada yang perlu dipersoalkan dari sudut pandangan teologi Islam.

“Islam yang harus ditawarkan adalah sebuah Islam yang bersedia bergandengan tangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab,”urai Budhy.

Menurut Buya, seperti disampaikan Budhy dalam diskusi tersebut, Islam yang harus ditawarkan adalah sebuah Islam yang bersedia bergandengan tangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan yang beradab.

Kegelisahan Syafii tentang kompleksitas hubungan antara Islam dan negara, kata Budhy mendorongnya mencari jalan keluar dengan mengeksploitasi tafsir yang menarik atas ideologi Pancasila. Ia menemukannya pada pemikiran Mohammad Hatta.

Menurut Syafii, Budhy menjelaskan, Wakil Presiden Pertama Indonesia ini menjelaskan bahwa sila pertama dalam Pancasila merupakan prinsip spiritual dan etik bagi cita-cita kenegaraan Indonesia. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan fondasi moral yang kukuh bagi empat sila lainnya dan harus menjadi pembimbing bagi cita-cita kenegaraan lainnya.

“Pengalaman traumatik masa lampau ketika Islam dibenturkan dengan politik kekuasaan menurut Syafii Maarif jangan diulang lagi, sebab hanya akan berujung dengan kesia-siaan,”tutur Budhy menjelaskan.

Neo Modernisme Islam

Buya Syafii Maarif merupakan seorang pemikir Islam yang bisa dimasukkan dalam gerbong pemikir “neo-modernisme Islam”. Salah satu ciri yang sangat kuat dalam pemikir model ini adalah kemampuannya mengkontekstualisasikan pemikirannya dengan tantangan-tantangan baru. Terutama tantangan kemodernan dan munculnya pemikiran-pemikiran global, seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, sampai kesetaraan gender. Buya adalah seorang pemikir yang mengafirmasi pandangan-pandangan baru sosial politik, dan melawan segala bentuk fundamentalisme.

Jumat, 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah, Gamping, Buya meninggalkan kita semua. Ia adalah pemikir Islam terakhir dari generasinya. Kepergiannya menyusul sahabat-sahabat segenerasinya seperi Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Djohan Effendi. Forum KPII (Kader Pemikir Islam Indonesia) telah mengeksplorasi sumbangan pemikiran Buya A. Syafii Maarif. Ia dikenal sebagai pemikir Islam sejak terbit disertasinya tentang Islam dan Pancasila yang memberi sumbangan pada argumen penerimaan Pancasila sepenuhnya dari sudut pandang teologi Islam.

Gabriel Abdi Susanto
Gabriel Abdi Susantohttps://institutfilsafatpancasila.org
Ketua Bidang Publikasi Institut Filsafat Pancasila

Get in Touch

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_imgspot_img

Related Articles

spot_img

Get in Touch

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Posts