Kemerdekaan Indonesia kerapkali dimengerti melalui “pintu depan”. Pintu depan tentu bukan hanya sekedar hal material yang menampilkan gemerlap dan meriahnya kemerdekaan. Namun, frase tersebut menjadi suatu cerlang yang bisa mencelikkan kesadaran kita tentang makna kemerdekaan sesungguhnya. Frase “pintu depan” bisa berupa gapura, gerbang, ruang masuk, pagar, pintu rumah, dan sebagainya yang dihiasi ornamen merah putih. Lomba-lomba kemerdekaan Indonesia bisa dilihat melalui pintu depan. Di “pintu depan” itu pula, warga Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan melalui pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa perjuangan “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Itulah “pintu depan”. Rumah-rumah di Indonesia pun lebih banyak disingkap dari pintu depan. Di bagian rumah Jawa, misalnya, tuan rumah menerima tamu, mengadakan slametan, atau hajat tradisi lainnya. Ada yang tak kalah penting, bahwa pintu belakang menjadi, tempat segala suguhan mengalir ke ruang depan (Newberry, 2013). “Pintu depan”, bagi Newberry, mengantarkan untuk tiba makna simbolis pembuka rahasia yang terselubung tentang keadaan ekonomi, perempuan, keluarga, negara, dan terlebih kemerdekaan. Untuk itu, tulisan ini ingin menengok kemerdeaan Indonesia dari pintu belakang.
Bila pintu depan sudah biasa, kita beralih dari pintu belakang. Pintu belakang menjadi bukan lagi analogi, tetapi menjadi ideologi dimana kondisi warga Indonesia sebenarnya terjadi secara konkret. Istilah “pintu belakang”, saya temukan melalui pengalaman saat meneliti satu satu desa di Jawa Timur. Sebagai tamu yang baru memasuki pintu depan, saya dipersilahkan masuk ke ruang tamu. Ibu tuan rumah rupanya kehabisan gula dan kopi. Setelah membeli gula dan kopi, anaknya membawa keduanya melalui pintu depan. Setelah bercakap-cakap lumayan lama, saya dan seorang teman diajak melalui pintu belakang untuk menikmati sajian makan siang di dapur. Pengalaman ini hampir pasti menyiratkan ada yang kurang dari pintu belakang, yaitu dapur. Dengan melewati pintu belakang, saya mengetahui kondisi dapur dari tuan rumah. kemudian menjadi kehadiran paling nyata situasi kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia, bagi saya, perlu dilihat dari pintu belakang. Karena melalui pintu belakanglah, kita mengetahui Indonesia telah merasakan merdeka atau masih hidup dalam kesulitan. Pintu belakang kemerdekaan menyiratkan adanya perjuangan para ibu untuk merawat hidup keluarga. Situasi pintu belakang yang paling jelas ada di kehidupan para warga yang miskin. Bahkan ada warga yang tak memiliki pintu belakang, karena pintu belakangnya tak layak untuk menjadi dapur. Pintu belakang tertutup dan dapur ditempatkan dalam wilayah tanpa ruang, di alam bebas. Apakah keluarga tanpa pintu belakang menjadi pertanda ke-tak-merdeka-an?
Menurut saya, ya. Pertanyaan itu juga bisa menjadi pertanyaan bagi setiap warga negara Indonesia (dan tentu juga pemerintah). Usia 77 tahun kemerdekaan tidak lantas menjamin kesejahteraan para ibu yang berjuang mengurus sandang dan pangan di dapur. Program-progam di masa Orde Baru seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) justru lebih mendomestifikasi peran para perempuan dalam keinginan para pengelola negara untuk menjadi patuh dan taat pada kebijakan (Suryakusuma, 2011). Urusan papan (situasi rumah) juga menjadi pertanda kesejahteraan bagi para keluarga di Indonesia.
Bila ditilik lebih jauh, urusan kebutuhan baik itu sandang, pangan, dan papan bisa ditemukan sebabnya dari kurang tersedianya pekerjaan yang layak, baik itu bagi laki-laki dan perempuan. Pekerjaan yang layak dimaksudkan bahwa penghasilan dengan menjadi pekerja bisa mencukupi tiga kebutuhan dasar tersebut. Selain itu, masalah yang mendera Indonesia mulai dari Covid-19 juga menjadi faktor utama yang menyebabkan urusan dapur keluarga menjadi tidak stabil. Distribusi keadilan belum terjadi juga menjadi penyebab kondisi keluarga kelas bawah di Indonesia mengalami kerapuhan. Untuk itu, pemerintah bila serius menyejahterakan warganya, perlu menengok langsung situasi konkret warga Indonesia. Tentunya, pemerintah menengok melalui pintu belakang.
Urusan (pengelola) negara dan keluarga menjadi amat urgen. Tata kelola yang baik dari negara kepada warganya (terutama di kelas bawah) bukan hanya menjadi gagasan, tetapi ada dalam tindakan. Tindakan untuk memberi “nyala api pengharapan” melalui suplai dan akses kesejahteraan para ibu untuk mengelola kehidupan keluarga dengan kehidupan yang layak, baik itu lauk-pauk yang cukup, suplemen vitamin, literasi, dan terlebih mendapat akses pendidikan yang berkualitas. Anak Indonesia perlu terhindar dari stunting, dan pendidikan yang tak berkualitas. Kita mengharapkan anak-anak dari kecukupan gizi, hasil didikan keluarga, dan pendidikan nantinya akan turut membangun negara Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Tetapi, hal yang menjadi catatan penting, akses yang paling penting untuk mengetahui situasi warga Indonesia saat ini, bukanlah melalui pintu depan, melainkan dari pintu belakang. Situasi dimana warga Indonesia bisa menikmati hasil perjuangan para pejuang kemerdekaan, dan para pendiri bangsa. Dengan demikian, kemerdekaan Indonesia ke-77 tahun ini, hanya bisa dimengerti melalui pintu belakang.
Mantap Andri, semoga menjadi peneliti yg handal demi bangsa n negara
Seharus ny kemerdekaan yg ke 77 ini harus membuat rakyat Indonesia lebih merasakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,…bukan pas tgl 17agustus aj…dmn smua merayakan dg smua perlombaan tetapi stlah itu kita lupa dg byk masyarakat yg msih hidup dbwaah kemiskinan,..dg segala mslah ekonomi