spot_imgspot_img

Sudahkah Pancasila Menjiwai UUD 1945?

Catatan peringatan bulan Konstitusi Agustus 2022

Pada 27 Agustus 2022 lalu, Institut Filsafat Pancasila (IFP) bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) dan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan peringatan bulan konstitusi dengan menyelenggarakan talk show. Talk show tersebut mengambil tema “Sudahkah Pancasila Menjiwai UUD 1945?, dan disiarkan langsung melalui RRI Net dan RRI Programa 3 dari Fakultas Filsafat UGM.

Menurut saya, tema ini penting dan menarik karena beberapa alasan. Pertama, amandemen merupakan keniscayaan. UUD 1945 bagaimanapun disusun dalam suatu konteks tertentu, yakni perjuangan untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Setelah 77 tahun merdeka, konteks itu jelas telah berubah. Pun ketika dilakukan amandemen selama reformasi 1998. Amandemen tidak dapat dilepaskan dari konteks politik reformasi waktu itu yang diwarnai oleh “dendam” terhadap otoritarianisme Orde Baru.

Segera setelah rezim otoriter dijatuhkan, beberapa tuntutan diajukan, di antaranya adalah amandemen UUD 1945 sebagai upaya untuk menjamin kehidupan yang lebih demokratis, yakni pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden, kedaulatan langsung di tangan rakyat (tidak melalui MPR RI). Seturut dengan itu, munculnya desakan untuk melakukan pemilihan umum secara langsung dan otonomi daerah.  Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ada beberapa suara kritis yang menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 kebablasan atau terlampau liberal. Ada juga yang menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 jauh nilai-nilai Pancasila. Hal itu terutama karena konteksnya telah mengalami perubahan. Terlebih, reformasi telah berlangsung lebih dari 20 tahun lalu.

Tidaklah mudah untuk menjawab apakah amandemen UUD 1945 selama reformasi sesuai dengan Pancasila ataukah tidak karena memerlukan kajian yang sungguh-sungguh dan hati-hati. Namun, tuntutan bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat negara (menurut Muh. Yamin) haruslah menjiwai keseluruhan batang tubuh UUD 1945 sangatlah tepat. Dalam kajiannya mengenai kedudukan Pembukaan UUD 1945, Notonagoro juga menegaskan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah negara fundamental (staatsfundamentalnorm). Sebagai  staatsfundamentalnorm, pembukaan mengandung di dalamnya Pancasila sehingga segala norma hukum termasuk konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.

Meletakkan Pancasila dalam Bingkai Konstitusi

Pancasila mempunyai kedudukan istimewa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu kedudukan penting Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara (philosophisce grondslag) sebagaimana dapat dirujuk dalam pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945. Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila haruslah mendasari konstitusi. Selain sebagai dasar filsafat negara, Pancasila juga mempunyai kedudukan sebagai ideologi negara. Sebagai ideologi negara, Pancasila memuat cita-cita berbangsa dan bernegara, yang diharapkan menjadi perekat bagi keseluruhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dalam pidatonya, Ir. Soekarno menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara hendak mengayomi keseluruhan warga negara. Indonesia yang hendak didirikan, demikian menurut Ir. Soekarno, tidak untuk satu golongan saja, tetapi untuk semuanya.

Sebagai dasar filsafat negara, nilai-nilai Pancasila haruslah menjadi dasar dan sekaligus menjiwai keseluruhan batang tubuh UUD 1945, baik sebelum dan pasca-amandemen. Selanjutnya, jika filsafat Pancasila dicari dari dasar ontologisnya pada manusia atau secara khusus manusia Indonesia, maka manusia yang hendak direalisasikan adalah manusia Pancasila. Jika manusianya adalah manusia Pancasila sesuai dasar ontologisnya, maka negara sebagai realisasi manusia dalam kehidupan bersama adalah pula negara Pancasila. Ini memang tidaklah mudah karena manusia terus mengalami perubahan. Meskipun demikian, sifat hakikat manusia mestinya tidak berubah, yakni sifat kodrat manusia monopluralis. Konsekuensi atas kodrat manusia monopluralis bahwa kebahagiaan manusia akan terealisasi dalam kehidupannya jika tidak menyimpang dari kodratnya yang monopluralis. Pemenuhan atas keseimbangan jiwa-raga (jasmani-rohani), makhluk individu dan sosial, dan sebagai makhluk pribadi dan ciptaan Tuhan.

Dengan berpijak pada pandangan di atas, Konstitusi karenanya dapat dilihat sebagai realisasi filsafat Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar filsafat negara. Dapat juga dikatakan bahwa konstitusi adalah realisasi Pancasila sebagai pandangan hidup (weltanschauung).  Dengan titik tolak semacam ini, menjadi sangat jelas bagaimana Pancasila menjiwai Konstitusi. Dengan kata lain, Pancasila adalah tolak ukur bagi “baik-tidaknya” Konstitusi, baik sebelum maupun sesudah amandemen. Dalam hal ini, harus pula disadari bahwa UUD 1945 sebenarnya bersifat sementara karena dibuat dalam situasi perjuangan kemerdekaan sehingga perlu disempurnakan. Sayangnya, perdebatan setelahnya dalam rangka menyusun Undang-Undang Dasar baru tidak pernah terwujud hingga akhirnya muncul Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya ingin menegaskan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab untuk merealisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk melakukan refleksi dan kajian-kajian kritis baik terhadap Pancasila itu sendiri, UUD 1945, dan juga peraturan perundangan di bawahnya. Pancasila bukanlah monopoli sekelompok orang atau bahkan elit politik, tetapi milik bersama. Pancasila harus terus-menerus diperdebatkan dan diperbincangkan sehingga terus hidup dalam diskursus publik.

Get in Touch

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_imgspot_img

Related Articles

spot_img

Get in Touch

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Posts