Pada 10 Januari 2023 lalu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sering disingkat PDIP genap berusia 50 tahun. Partai yang secara historis merupakan fusi beberapa partai pada 10 Januari 1973 tersebut adalah langkah penyederhanaan partai pada masa Orde Baru. PDI merupakan fusi dari partai politik nasionalis dan Kristen, yakni Partai Nasional Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (Partai IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Sejak tahun 1973, PDI yang bercirikan nasionalis, bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari berbagai partai Islam, dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah Partai politik yang dijinkan mengikuti Pemilu sampai dengan tahun 1992. Pada bulan Juni tahun 1993, Soerjadi tidak bisa mempertahankan poisisinya sebagai Ketua Umum PDI, karena dinyatakan dead lock oleh pemerintah, pasca terjadi keributan internal dalam Konggres PDI di Medan.
Guna menyelesaikan konflik internal, Pemerintah menetapkan Caretaker sebagai pengurus sementara untuk mempersiapkan Konggres Luar Biasa (KLB) pada awal Desember 1993. Dalam kurun waktu itu, munculnya tokoh alternatif sebagai calon Ketua Umum PDI yaitu Megawati Taufiek Kiemas (sekarang Megawati Soekarnoputeri). Tokoh ini tidak diharapkan oleh pemerintah, karena memiliki calon Ketua Umum yang diharapkan akan mudah diajak kerja sama dengan Pemerintah Orde Baru. Meski putri Bung Karno ini mendapatkan dukunngan besar dari warga PDI maupun kelompok yang menghendaki adanya perubahan. Bahkan, media massa saat itu juga terus mengangkat dan memberitakan Megawati Soekarnouteri. Tokoh-tokoh yang didukung oleh pemerintah adalah Latief Pujosakti dan Budi Hardjono.
Dibuka oleh Mendagri Rudini, KLB akhirnya terselenggara pada tanggal 1 Desember 1993. Namun begitu dilaksanakan Rapat Paripurna pertama yang dipimpin oleh Edwin Soenawar Soekowati, terjadi keributan karena floor menghendaki agar Megawati Soekarnoputeri segera ditetap kan secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI, mengingat mayoritas pandangan umum para utusan mengusulkan akan hal itu. Ada sebagaian kecil para pendukung calon lain yang tidak mau menerima usulan itu kemudian memulai membuat keributan. Akhirnya Ketua Sidang yang memang dipersiapkan untuk menghantarkan calon lain yaitu, Ketua caretaker Latief Pujosakti, cepat menutup Rapat Paripurna untuk mengantisipasi keributan yang lebih besar. Hingga saat itu, KLB tidak pernah dilanjutkan alias Deadlock sampai ijin penyelenggaraan KLB berakhir. Menjelang berakhir, Megawati Soekarnoputeri memanggil para pendukungnya untuk berkumpul di halaman kamar tempat dimana Megawati menginap. Megawati dengan tegas menyatakan, bahwa dirinya adalah Ketua Umum De Facto.
Meski pendukung Megawati menyatakan, KLB telah berhasil menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum De Facto, namun pemerintah tetap menyatakan, KLB gagal, dan harus diulang dengan Munas yang akan berlangsung akhir Desember 1993 di Jakarta (Hotel Kemang. Pangdam DKI Jakarta Mayjen TNI Hendropriyono ditugasi untuk mengamankan jalannya Munas Dalam wawancaranya dengan penulis, Hendropriyono menuturkan bahwa Presiden Soeharto saat itu tidak mempersoalkan manakala Megawati Soekarnoputeri terpilih sebagai Ketua Umum PDI hasil Munas di Hotel Kemang. Oleh karena itu, terpilihnya Megawati Soekarnoputeri sebagai Ketua Umum berjalan lancar dan tidak ada kendala. Namum, di kemudian hari, terpilihnya Megawati pada Munas, dianggap belum sah karena masih harus dipertanggungjawabkan pada Konggres PDI di Medan 1996. Pendapat ini adalah sekedar alasan untuk menghentikan langkah Megawati untuk mencalonkan diri menjadi Calon Presiden pada SU MPR 1997. Dukungan arus bawah yang sedemikian besar, bukan tidak mungkin Megawati bakal menccalonkan diri sebagai Presiden. Oleh karena itu, kelompok status quo yang ketakutan, berupaya untuk menurunkannya sebelum Pemilu 1997. Soerjadi yang semula sudah hilang dari peredaran, tiba tiba tampil lagi menjadi sosok yang sangat getol mendukungn Konggres di Medan 1996. Akhirnya Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum PDI dan menyatakan berhak mengambil alih kantor kembadi di jln Diponegoro. Kelompok Megawati menyatakan, Konggres tidak sah dan berupaya mempertahankan Kantor DPP PDI. Karena itulah terjadi peristiwa Diponegoro yang dikenal ssebagai peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996.
Pada Pemilu tahun 1997, PDI dibawah kepemimpinan Megawati tidak bisa mengikutinya, karena PDI yang sah saat itu adalah PDI Soerjadi. Oleh karena itu, Megawati mengumumkan kepada para pendukungnya untuk tidak mengikuti Pemilu dan membebaskan para pendukungnya untuk memilih PPP. Maka, hasil Pemilu 1997, PPP mendapatkan penambahan jumlah kursi di DPR secara signifikan. Ketidakpuasan para pendukung perubahan menyebabkan situasi politik terus bergejolak. Muncul banyak demo di mana-mana, termasuk demo para mahasiswa yang mengkritik pemerintah, yang akhirnya memuncak pada Peristiwa Semanggi dan Tri Sakti tahun 1998, yang menimbulkan korban jiwa sejumlah mahasiswa. Upaya pemerintah menghadapi para demonstran ini terus berkembang dengan terjadinya sejumlah penculikan para aktivuis mahasiswa dan ormas pemuda. Situasi chaos terus berkembang yang memuncak pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Situasi tersebut, diperburuk dengan terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi, yang memaksa Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Presiden BJ Habibie berpandangan bahwa permasalahan yang terjadi sebelumnya adalah masalah demokrasi. Oleh karena itu, Presiden menyatakan, perlunya diselenggarakan Pemilu ulang yang akan dilaksanakan tahun 1999. Dia juga memutuskan, kebebasan untuk membentuk partai politik sesuai dengan ketentuan. Oleh karena itu, tahun 1999, Pemilu diikuti oleh 48 partai politik peserta pemilu. Salah satunya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputeri sebagai Ketua Umum dan Alex Litaay sebagai Sekjen. Megawati membentuk partai baru ini karena, nama PDI masih eksis dan juga menjadi peserta pemilu. Hasil Pemilu 1999, PDIP mendapatkan dukungan mayoritas di Parlemen dengan memperoleh 153 kursi di DPR atau sekitar 33 persen dari jumlah kursi di DPR. Kemenangan PDIP itu tidak serta merta bisa menghantarkan Megawati menjadi Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1999. Sebab, dalam SU MPR itu, mayoritas dukungan suara memilih KH Abdurachman Wahid dan Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden 1999-2003. Dalam perkembangan politik berikutnya, Presiden Gus Dur diturunkan dari jabatannya dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputeri sebagai Presiden mulai 23 Juli sampai Oktober 2004.
Partai Idiologis
Sebagai partai ideologis dan mempunyai basis massa rakyat yang kuat (grassroot), PDI atau PDIP telah mengalami beragam perjuangan politik dan menjadi simbol perlawanan pada masa Orde Baru di bawah Soeharto. Dalam kajiannya mengenai PDI atau yang sekarang menjadi PDIP, Cornelis Lay mengemukakan bahwa konflik-konflik internal dalam tubuh PDI sebenarnya adalah cara PDI dalam melakukan resistensi atau perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang kuat dan despotis. Versi lainnya mengemukakan bahwa fusi partai-partai itu memang disengaja oleh Orde Baru agar partai sibuk dengan “konflik” internal mereka sendiri sehingga partaatrtyaii tidak dapat bersaing dengan Golkar sebagai partai pemerintah. Namun, seperti dapat ditengok kembali dalam sejarah PDI, konflik internal itu bukan hanya menjadi bagian dinamika partai, tetapi menjadi simbol perlawanan atas kekuasaan Orde Baru yang otoriter. Olle Torquist dan Arif Budiman mencatat bahwa perlawanan PDI atas otoritarianisme Orde Baru menjadi salah satu gerakan demokrasi yang penting di Indonesia, dan yang terbesar. Gerakan-gerakan itu kiranya dapat disaksikan dalam kongres di Medan hingga Kongres Luar Biasa di Sukolilo, Jawa Timur. Perlawanan itu terus berlanjut hingga terjadinya peristiswa kekerasan yang kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Kudatuli” pada 27 Juli 1996. Saya bersyukur menjadi bagian dari proses tersebut bersama teman-teman yang lain, yang menghendaki perubahan atas rezim yang otoriter. (Saya telah menuliskan kisah perlawanan ini dalam Menegakkan Demokrasi Pancasila: Megawati dan Perjungana Rakyat dalam Reformasi Indonesia). Dalam pandangan saya, apa yang dilakukan oleh PDIP (pada waktu itu masih PDI) di bawah komando Ibu Megawati Soekarno Putri itulah tonggak gerakan reformasi politik di Indonesia yang sebenarnya. Bahkan, menjadi perlawanan organisasi politik yang paling besar dalam sejarah Indonesia.
Kini, status PDIP tidak lagi menjadi partai pinggiran atau menjadi simbol perlawanan. Sebaliknya, dengan memenangkan pemilu selama tiga kali (1999, 2014, dan 2019) dan berhasil menggolkan presiden, PDIP memegang kekuasaan politik dan pemerintahan. Ini tentu saja bukan masalah mudah. Jauh lebih berat dibandingkan menjadi simbol perlawanan terhadap rezim yang menindas. Dalam pandangan saya, posisi PDIP sebagai “partai penguasa” menghadapi tantangan yagn jauh lebih sulit dan kompleks. Jika pada masa Orde Baru, lawan PDI dapat dikatakan tunggal, yakni rezim. Ketika menjadi partai berkuasa, PDIP menghadapi aktor-aktor yang sangat beragam dengan beragam kepentingan pula. Dalam konteks inilah, godaan untuk melenceng dari “partai wong cilik” dan penjaga marwah Pancasila benar-benar menghadapi tantangan. Sejauh pengamatan saya, ada dua tantangan besar yang dihadapi PDIP saat ini, yakni kekuatan oligarki di seputar kekuasaan dan pragmatisme.
Kekuatan Oligarki dalam Politik
Para pengamat seperti Vedy R. Hadiz, Richard Robison, Edward Aspinal ataupun Jeffrey Winters mengemukakan bahwa demokrasi Indonesia digerogoti oleh kelompok oligarki. Jeffrey Winters mengemukakan bahwa oligarkhi merupakan produk politik stratifikasi material yang ekstrem dalam masyarakat. Ketika demokrasi dikuasai oligarkhi, demokrasi lebih berpihak kepada kelompok sosial tertentu, yakni kelompok kaya. Ini jelas bertentangan dengan demokrasi Pancasila karena demokrasi Pancasila dipahami sebagai demokrasi untuk seluruh rakyat Indonesia, semua untuk semua, bukan demokrasi yang berdasarkan kelas sosial. Demokrasi Pancasila, menurut Notonagoro (1987), adalah demokrasi berprinsip gotong-royong. Dalam perspektif Drijarkara, demokrasi yang dikuasai oleh oligarkhi tidak mencerminkan prinsip yang memungkinkan person diperlakukan sebagai sesama person yang bermartabat dan setara karena pada akhirnya hubungan-hubungan akan didominasi oleh kapital.
Ciri khas oligarkhi adalah kekuasaan dikendalikan oleh selintir orang, dan peraturan-peraturan perundangan untuk mengimplementasikan kekuasaan diatur dan dikendalikan kelompok kecil demi keuntungan mereka sendiri. Dalam situasi oligarkhis semacam ini, tantangan PDIP adalah bagaimana PDIP tetap menjadikan dirinya sebagai partai “wong cilik”, yang senantiasa memperjuangkan kepentingan rakyat dengan tetap menjaga nadi demokrasi. Hanya dengan cara demikian, PDIP akan terus hidup di hati rakyat dan menjadi elemen penting dalam memperkuat praktik demokrasi substansial di Indonesia, yakni demokrasi Pancasila.
Pragmatisme
Dalam refleksi akhir tahun 2022, Wakil Ketua MPR RI yang juga kader PDIP, Ahmad Basarah, mengemukakan bahwa saat ini masih banyak peraturan perundangan-undangan yang belum sepenuhnya mendasarkan pada Pancasila sebagai sumber hukum material.
Dalam pandangan saya, ada dua sebab yang dapat diidentifikasi mengapa Pancasila belum menjadi sumber hukum material dalam perumusan peraturan perundangan. Pertama, para perumus peraturan perundangan tidak memahami dengan baik Pancasila. Mereka tidak memahami apa makna Pancasila sebagai dasar filsafat negara? Mereka tidak memahami bahwa sila-sila Pancasila adalah kesatuan filosofis yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, dan peraturan perundangan harus merefleksikan keseluruhan sila-sila itu sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Mereka juga tidak memahami bahwa sebagai dasar filsafat negara nilai-nilai Pancasila yang dalam kelima silanya tersebut haruslah menjadi dasar dan pandangan dunia (weltanschauung) dari keseluruhan peraturan perundangan sehingga melalui regulasi dan peraturan perundangan negara benar-benar mencerminkan Pancasila. Kegagalan pemahaman inilah yang membuat banyak peraturan perundangan tidak menjiwai atau belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Penyebab kedua adalah meluasnya pragmatisme. Peraturan perundangan semata dirumuskan demi menyelesaikan urusan-urusan jangka pendek, tanpa mempertimbangkan landasan filosofisnya secara benar dan mendalam. Lebih parah lagi, peraturan perundangan dirumuskan demi melayani kebutuhan atau kepentingan segelintir kelompok masyarakat yang kuat tanpa mempertimbangkan secara mendalam sejauh mana peraturan itu membawa keadilan bagi seluruh warga negara. Akibatnya, bukan saja peraturan perundangan menegasikan nilai-nilai Pancasila yang sangat adiluhung itu, tetapi tidak jarang terjadi ada banyak peraturan yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Baik dalam peraturan perundangan itu sendiri maupun di antara peraturan perundangan. Sangat mungkin terjadi, suatu peraturan perundangan menjamin hak-hak demokratis warga negara, tetapi dalam peraturan lainnya sebaliknya. Ini menjadi masalah karena jika peraturan perundangan mendasarkan pada dasar filsafat yang sama, yakni Pancasila maka pertentangan-pertentangan semacam itu tidak akan terjadi.
Sebagai partai yang mempunyai suara paling banyak dan lebih-lebih presidennya juga kader PDIP, maka keberadaan PDIP menjadi sangat strategis dalam mengawal sejauh mana Pancasila menjiwai dan mendasari seluruh peraturan perundangan. PDIP haruslah menjadi garda terdepan dalam memastikan sejauh mana peraturan perundangan dan gerak pemerintah mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Adalah dosa besar jika hal ini tidak dilakukan mengingat sejarah panjang PDIP sebagai partai yang dengan konsisten menyuarakan demokrasi dan menjadi aktor penting dalam melawan kekuasaan otoriter Soeharto. PDIP haruslah menjadi antitesis dari pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan despotis dengan secara sungguh-sungguh menjadikan Pancasila dasar filsafat negara sebagai gerak pemerintah dan legislasi, dan bukan semata menjadikan Pancasila sebagai instrumen demi tujuan-tujuan kekuasaan jangka pendek seperti Orde Baru.
Menjaga Keseimbangan
Sebagai dasar filsafat negara, filsafat Pancasila mendasarkan pada ontologi manusia Indonesia, yang senantiasa menjaga keseimbangan atau harmoni. Manusia dalam dimensinya adalah kesatuan kodrat antara jiwa-raga atau jasmani-rohani, individu-sosial, dan sebagai makhluk pribadi dan ciptaan Tuhan. Manusia adalah makhluk monopluralis, kesatuan dari keseluruhan pluralitasnya. Pancasila menyeimbangkan pluralitas tersebut, baik dari sisi jiwa-raga, makhluk individu-sosial, dan sebagai pribadi dan ciptaan Tuhan. Ini berarti bahwa dalam pandangan Pancasila kebahagiaan manusia hanya mungkin diwujudkan jika ketiga elemen tersebut berada dalam keseimbangan atau harmoni. Pertanyaannya adalah: bagaimana hal itu dapat diterjemahkan dalam kehidupan politik kepartaian?
Pertama dan yang paling utama bahwa politik harus didasarkan pada agama atau secara lebih umum berdasarkan pada prinsip-prinsip ketuhanan. Sebagaimana dikemukakan oleh Moh. Hatta, sila pertama dan kedua dalam Pancasila adalah dasar moralitas. Artinya, moralitas tindakan manusia sebagai aktor politik harus senantiasa mendasarkan pada dasar moralitas ini, yakni ketuhanan dan kemanusiaan. Jika aktor politiknya mendasarkan pada dasar moralitas Pancasila, maka partai politik juga demikian. Ini karena partai politik sebagai organisasi politik adalah cerminan manusia. Partai politik mendasarkan pada dasar-dasar moralitas Pancasila, jika orang-orang di dalamnya demikian. Dasar moralitas ini penting agar politik tidak bersifat pragmatis. Dalam pandangan saya, politik tanpa agama akan terjebak ke dalam pragmatisme, sedangkan politik tanpa filsafat tidak akan mempunyai tujuan. Oleh karena itu, antara agama (atau prinsip-prinsip ketuhanan) dan filsafat harulah seimbang. Mengapa misalnya harus dibuat suatu peraturan perundangan? Mengapa kebijakan ini dan bukan kebijakan itu yang diambil? Pertanyaan-pertanyaan ini berdimensi filosofis. Jika pertanyaan-pertanyaan ini dijawab, maka tidak ada kebijakan dan peraturan perundangan yang seramapangan. Pancasila sebagai dasar filsafat negara kiranya memberikan ruang untuk itu. Tinggal manusianya bersedia melakukan itu ataukah tidak? Mudah-mudahan, dalam usianya yang telah menginjak setengah abad, 50 tahun, PDIP mampu bertindak demikian karena orang-orang yang di dalamnya juga demikian. Dirgahayu PDIP.