Setelah tertunda beberapa waktu yang agak lama karena beragam alasan, saya akhirnya dapat menyelesaikan tulisan kedua dari kelanjutan artikel negara Pancasila yang saya janjikan. Dua hal telah saya sampaikan pada tulisan pertama negara Pancasila. Pertama, pentingnya menempatkan Pancasila sebagai genetivus subjectivus atau objek formal. Ini memungkinkan kita untuk melihat setiap persoalan dengan kaca mata filsafat Pancasila. Kedua, menemukan hakikat Pancasila dari dasar ontologi manusia Indonesia. Di sini, titik tekannya adalah pada keseimbangan. Manusia adalah makhluk yang plural. Dalam kepluralan itu, penting untuk menjaga keseimbangan. Pokok kedua inilah yang nantinya akan menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan negara Pancasila. Ini karena, sebagaimana dikemukakan Notonagoro, negara pada dasarnya adalah refleksi dari manusia. Manusialah yang menegara. Negara adalah organisasi politik yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, seperti apa rupa negara itu akan ditentukan oleh manusianya. Dengan dasar argumen demikian, membangun negara Pancasila pertama dan yang paling utama adalah membangun manusianya dulu. Dalam arti, jika manusianya adalah “manusia Pancasila” maka negaranya pun akan menjadi negara Pancasila. Begitu sebaliknya.
Dalam beberapa waktu belakangan, kita telah menyaksikan beberapa perilaku kurang elok di antara pejabat negara yang menyulut kemarahan sebagian besar masyarakat Indonesia. Perilaku yang dimaksud adalah pamer atau dalam istilah kerennya adalah fleksing. Ada hobi yang sangat menggelisahkan di era sekarang ini, yakni pamer di antara para pejabat negara. Fleksing atau pamer sebenarnya manusiawi. Ketika seseorang memiliki sesuatu maka ada hasrat untuk menunjukkannya kepada orang lain. Namun, budaya pamer ini menjadi masalah ketika dilakukan oleh pejabat negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Pertama, ketika pamer barang mewah dilakukan oleh pejabat negara atau ASN maka segera pertanyaan muncul: dari mana mendapatkan uang untuk membeli barang-barang mewah itu? Bukankah gaji ASN tidak mencukupi untuk mengoleksi barang-barang mewah tersebut? Masalah ini membawa pada problem kejujuran, dan kejujuran adalah masalah moral. Seseorang yang tidak jujur, bertentangan dengan dasar moralitas Pancasila, terutama sila kedua. Kedua, pamer di kalangan pejabat dan ASN menimbulkan pertanyaan etis kedua ketika sebagian masyarakat masih hidup kekurangan dan bahkan miskin. Dalam kaitan ini, pamer bukan saja masalah kejujuran karena berhubungan dengan dari mana biaya untuk pamer didapatkan, tetapi juga masalah etis kemanusiaan dan keadilan. Manusiawi dan adilkah jika ASN memamerkan barang-barang mewahnya di tengah keprihatinan sebagian masyarakat? Dalam perspektif yang lebih luas, adil dan manusiawikah jika ASN dan pejabat negara pamer barang mewah di tengah utang negara bertambah berkali-kali lipat? Dalam bahasa ringkas, jawaban atas pertanyaan ini membawa pada persoalan mendasar di antara para penyelenggara yang melakukan fleksing atau pamer kekayaan, yakni kurangnya internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam diri mereka. Akibatnya, perilakunya tidak Pancasilais dan negara pun menjadi tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Subjektivasi dan Objektivasi Pancasila
Notonagoro merumuskan moralitas Pancasila ke dalam dua jalur, yakni subjektivasi yang objektif dan subjektivasi yang subjektif. Pancasila haruslah menjadi realitas objektif dalam kehidupan negara, sekaligus menjadi realitas subjektif bagi setiap individu warga negara. Jika meminjam gagasan sosiologi pengetahuannya Berger dan Luckman dalam Tafsir Sosial Atas Kenyataan, maka Pancasila harus menjadi pengetahuan yang dikonstruksikan dalam alam pikiran manusia Indonesia. Pengetahuan itu lantas mengalami internalisasi (subjektivasi) dan eksternalisasi (objektivasi) sebelum akhirnya menjadi the way of life Bangsa Indonesia. Jika diuraikan secara detil, kira-kira operasionalisasi seperti ini.
Pada level individu, Pancasila harus menjadi realitas subjektif. Artinya, setiap individu warga negara harus mengkonstruksikan Pancasila dalam dirinya untuk menjadi dasar dari setiap sikap dan tindakan yang diambil. Ini tidak berarti bahwa Pancasila mengalahkan agama yang menjadi sakral dan penting dalam masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, sila pertama Pancasila memberikan dasar bagi seluruh warga negara untuk menjalankan perintah agama sebaik-baiknya karena ber-Tuhan dalam pengertian Pancasila juga berarti taklim, tunduk kepada Allah. Dengan kata lain, orang ber-Pancasila seyogianya juga bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa sehingga sila pertama menjadi dasar moralitas yang kokoh. Meskipun demikian, perlu juga disadari bahwa cara orang mengimplementasikan semangat ber-Tuhan tidak pernah tunggal bahkan di antara pemeluk agama itu sendiri. Oleh karena itu, Pancasila memberi tempat dan ruang seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk ber-Tuhan menurut cara yang mereka yakini benar. Dengan kata lain, ber-Tuhan dalam kerangka Pancasila adalah ber-Tuhan dalam dasar moralitas sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Kesediaan dan kemauan individu warga negara untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar moralitas sikap dan tindakan dalam kehidupan hari-hari menjadi dasar bagi keberhasilan implementasi di tingkat negara. Artinya, Pancasila hanya mungkin menjadi realitas objektif dalam kehidupan negara jika warga negara mau menjadikan demokrasi Pancasila sebagai dasar moralitas dalam kehidupan keseharian mereka. Oleh karena itu, perlu internalisasi. Di sini, pendidikan politik warga negara sangatlah penting. Pendidikan politik tidak hanya dilakukan oleh institusi pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi, tapi juga terutama dalam partai-partai politik dan pejabat negara. Negara harus melakukan pendidikan politik di mana salah satu materinya adalah filsafat Pancasila. Dengan demikian, akan terjadi internalisasi nilai pada setiap diri individu sehingga Pancasila benar-benar akan menjadi sikap dan tindakan setiap warga negara yang selanjutnya memancar dalam gerak kehidupan negara sebagai realitas objektif.