Rani Aulia*
Jaksa sebagai aparat penegak hukum memegang peranan penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Mereka tidak hanya bertugas menuntut perkara di pengadilan, tetapi juga memiliki fungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara tertentu. Mengingat kedudukan jaksa yang begitu strategis dalam penegakan hukum, maka penting untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas tersebut. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan menetapkan kode etik jaksa sebagai pedoman perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap jaksa. Kode etik ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan, korupsi, atau tindakan yang dapat merusak kredibilitas institusi kejaksaan.
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab melalui opini hukum ini. Mengapa kode etik jaksa diperlukan dalam pelaksanaan tugas penuntutan dan fungsi kejaksaan lainnya? Apa saja prinsip-prinsip utama dalam kode etik jaksa yang harus diterapkan oleh setiap jaksa? Bagaimana penerapan kode etik jaksa di Indonesia dalam praktik hukum sehari-hari, serta tantangan yang dihadapi dalam implementasinya? Opini ini akan mengupas hal-hal tersebut dengan harapan dapat memberikan gambaran jelas mengenai pentingnya kode etik bagi jaksa.
Definisi dan Tujuan Kode Etik Jaksa
Kode etik jaksa adalah pedoman yang memuat norma-norma, aturan, dan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh jaksa dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kode etik ini dirancang untuk memastikan bahwa jaksa bertindak dengan profesionalisme, independensi, dan integritas, serta menjaga citra lembaga kejaksaan sebagai institusi yang terpercaya dalam penegakan hukum. Kode etik jaksa berfungsi sebagai alat kontrol internal bagi jaksa agar tetap menjaga sikap dan perilaku yang sesuai dengan standar moral dan hukum yang berlaku.
Kode etik jaksa memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, untuk menjaga profesionalisme jaksa dalam menjalankan tugasnya. Profesionalisme ini mencakup keahlian teknis dalam hukum, etika dalam berinteraksi dengan pihak terkait, serta sikap yang menunjukkan integritas. Kedua, kode etik bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga kejaksaan. Publik harus yakin bahwa jaksa menjalankan tugasnya dengan adil dan transparan, serta bebas dari kepentingan pribadi atau tekanan pihak luar. Ketiga, kode etik juga berfungsi untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh jaksa, yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Prinsip-Prinsip Utama dalam Kode Etik Jaksa
Prinsip Profesionalisme
Prinsip pertama yang terkandung dalam kode etik jaksa adalah profesionalisme. Seorang jaksa harus mampu menguasai bidang hukum secara mendalam dan selalu meningkatkan kompetensinya. Mereka juga harus menunjukkan sikap yang sopan, beretika, dan menghormati hak-hak semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan. Profesionalisme ini juga berarti bahwa jaksa tidak boleh terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dapat merusak integritasnya sebagai pejabat negara.
Prinsip Integritas
Integritas adalah salah satu prinsip dasar yang harus dimiliki oleh jaksa. Integritas mencakup kejujuran dan kebenaran dalam setiap tindakan jaksa, baik dalam melaksanakan tugas penuntutan maupun dalam bersikap di luar tugas kedinasannya. Seorang jaksa yang berintegritas akan menolak segala bentuk godaan atau tekanan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum atau kode etik, seperti menerima suap atau memanipulasi proses peradilan.
Prinsip Kemandirian
Kemandirian menjadi prinsip yang tak kalah penting. Jaksa harus dapat bekerja secara independen tanpa adanya pengaruh atau tekanan dari pihak luar, baik itu dari pemerintah, pengusaha, atau kelompok lainnya. Mereka harus bertindak objektif dan tidak memihak dalam setiap perkara yang mereka tangani, guna memastikan bahwa proses peradilan berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Prinsip Keadilan
Jaksa sebagai aparat penegak hukum harus berkomitmen untuk selalu menjunjung tinggi prinsip keadilan. Ini berarti bahwa jaksa tidak boleh hanya berpihak pada salah satu pihak, baik itu negara atau terdakwa. Mereka harus berusaha untuk mencapai keputusan yang adil bagi semua pihak berdasarkan fakta dan bukti yang ada di persidangan. Keadilan ini juga meliputi penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Prinsip Akuntabilitas
Setiap jaksa harus siap mempertanggungjawabkan semua tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jaksa tidak boleh melakukan tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau moral. Dalam hal ini, lembaga kejaksaan harus memiliki sistem pengawasan yang efektif untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja jaksa dalam menjalankan tugasnya.
Kode Etik Jaksa di Indonesia
Sejarah dan Perkembangan Kode Etik Jaksa di Indonesia
Sejak didirikan pada tahun 1945, Kejaksaan Republik Indonesia terus berupaya untuk mengatur dan mengawasi perilaku jaksa melalui pedoman etik. Kode etik jaksa pertama kali diatur secara formal pada tahun 1991 melalui Keputusan Jaksa Agung. Namun, perkembangan pesat dalam sistem peradilan di Indonesia memaksa lembaga kejaksaan untuk terus memperbarui kode etik tersebut. Pada tahun 2012, Kejaksaan Agung mengeluarkan kode etik yang lebih komprehensif dan mengatur tentang tata perilaku jaksa dalam menjalankan tugasnya, serta memberikan sanksi bagi jaksa yang melanggar ketentuan yang berlaku.
Dasar Hukum Kode Etik Jaksa
Kode etik jaksa Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang ini menegaskan bahwa jaksa memiliki kedudukan yang independen dan bebas dari pengaruh pihak manapun. Selain itu, ada pula peraturan-peraturan lainnya yang mengatur lebih lanjut tentang kewajiban dan tanggung jawab jaksa dalam menjalankan tugasnya, serta kode etik yang mengarah pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat dalam proses peradilan.
Penerapan Kode Etik Jaksa dalam Praktik Hukum
Penerapan kode etik jaksa di Indonesia dalam praktiknya sering kali dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Seperti halnya dalam profesi lain, penerapan kode etik oleh jaksa tidak selalu berjalan mulus. Meskipun sudah ada aturan yang jelas, pelanggaran terhadap kode etik jaksa masih sering terjadi, baik itu berupa penyalahgunaan wewenang, kolusi dengan pihak-pihak tertentu, atau tindakan yang tidak profesional. Kasus-kasus seperti ini mengancam integritas sistem peradilan dan merusak citra lembaga kejaksaan di mata publik.
Tanggung Jawab Jaksa dalam Menerapkan Kode Etik
Sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk menegakkan hukum, jaksa memiliki tanggung jawab etika yang sangat besar. Tanggung jawab ini tidak hanya terkait dengan kualitas keputusan yang diambil dalam proses peradilan, tetapi juga dalam menjaga citra lembaga kejaksaan secara keseluruhan. Jaksa harus berkomitmen untuk tidak menggunakan posisinya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, serta harus selalu menjaga sikap yang profesional dan berintegritas tinggi dalam setiap tindakan yang diambil.
Sanksi dan Konsekuensi Pelanggaran Kode Etik
Kode etik jaksa juga mengatur tentang sanksi yang dapat dijatuhkan kepada jaksa yang melanggar norma-norma yang telah ditetapkan. Sanksi ini bervariasi mulai dari teguran lisan, pemberian sanksi administrasi, hingga pemecatan dari jabatan jaksa. Pemberian sanksi tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera dan memastikan bahwa jaksa yang terlibat dalam pelanggaran kode etik tidak dapat terus beroperasi tanpa konsekuensi.
Peran Pengawasan terhadap Jaksa
Pengawasan terhadap jaksa baik dari dalam internal kejaksaan maupun dari masyarakat sangat penting untuk memastikan kode etik dapat diterapkan secara konsisten. Kejaksaan Agung memiliki unit pengawasan internal yang bertugas untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran kode etik jaksa. Selain itu, masyarakat juga memiliki peran dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran etik yang dilakukan oleh jaksa melalui berbagai saluran pengaduan yang telah disediakan oleh Kejaksaan Agung.
Perbandingan dengan Kode Etik Jaksa di Negara Lain
Di beberapa negara maju, penerapan kode etik jaksa sudah berjalan sangat ketat dan menjadi bagian integral dari sistem peradilan mereka. Di negara seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Australia, kode etik jaksa diatur secara terperinci dan ditegakkan dengan sistem pengawasan yang sangat ketat. Di Amerika Serikat, misalnya, jaksa diwajibkan untuk mematuhi Model Rules of Professional Conduct yang diterbitkan oleh American Bar Association (ABA). Kode etik ini mengatur segala tindakan jaksa, mulai dari interaksi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan hingga larangan terhadap perilaku yang merugikan sistem peradilan, seperti penyalahgunaan bukti atau penerimaan suap. Hal ini menunjukkan pentingnya integritas dalam pekerjaan seorang jaksa, yang harus selalu menjaga keadilan dan tidak terpengaruh oleh kekuatan luar.
Di Inggris, Crown Prosecution Service (CPS) mengatur kode etik jaksa melalui Code for Crown Prosecutors, yang mengutamakan profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi. Prinsip utama kode etik ini adalah bahwa jaksa harus bertindak dengan kebijaksanaan dalam memutuskan apakah suatu perkara layak diajukan ke pengadilan, dengan mempertimbangkan apakah terdapat cukup bukti dan apakah penuntutan tersebut adalah kepentingan publik.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun setiap negara memiliki nuansa dan kebijakan yang berbeda dalam penerapan kode etik jaksa, namun inti dari kode etik itu sama: menjaga profesionalisme, independensi, dan integritas jaksa dalam menegakkan hukum.
Evaluasi Penerapan Kode Etik Jaksa di Indonesia
Keberhasilan dan Kegagalan Penerapan Kode Etik
Meskipun kode etik jaksa telah ada dan dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas, penerapannya di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Kejaksaan Agung Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memastikan bahwa jaksa bekerja sesuai dengan kode etik, namun tidak jarang ditemukan kasus di mana jaksa terlibat dalam pelanggaran kode etik. Misalnya, kasus-kasus korupsi di lingkungan kejaksaan atau penuntutan yang tidak berimbang. Salah satu contohnya adalah terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan jaksa yang memanipulasi proses hukum untuk keuntungan pribadi atau pihak tertentu, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip profesionalisme dan integritas.
Namun, ada pula sisi positif dalam penerapan kode etik di Indonesia. Kejaksaan Agung telah melakukan berbagai langkah untuk memperbaiki kinerja jaksa, seperti pembentukan komisi pengawasan, pelatihan berkala, dan penerapan teknologi dalam proses penegakan hukum. Dengan demikian, meskipun masih ada pelanggaran, usaha untuk memperbaiki situasi ini patut diapresiasi.
Beberapa hambatan yang sering ditemui dalam penerapan kode etik jaksa di Indonesia antara lain adalah kurangnya pengawasan yang efektif, ketidakberanian untuk melaporkan pelanggaran, dan budaya impunitas yang masih ada di beberapa kalangan. Pengawasan internal yang kurang ketat sering kali menjadi faktor utama di balik terjadinya pelanggaran kode etik, karena jaksa yang melakukan pelanggaran sering kali merasa dilindungi oleh sistem atau rekan sejawatnya. Selain itu, adanya tekanan dari pihak eksternal, seperti politisi atau pengusaha, juga dapat mempengaruhi objektivitas jaksa dalam menjalankan tugasnya.
Rekomendasi untuk Peningkatan Penerapan Kode Etik Jaksa
Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Disiplin
Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerapan kode etik jaksa adalah dengan memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal. Kejaksaan Agung harus memastikan bahwa unit pengawasan yang ada dapat berfungsi dengan optimal, dan tidak hanya menangani pelanggaran secara reaktif, tetapi juga secara preventif. Selain itu, penting untuk membuka saluran pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat untuk melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh jaksa.
Selain pengawasan internal, masyarakat juga perlu diberdayakan untuk terlibat dalam pengawasan terhadap perilaku jaksa. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan transparansi dalam proses penuntutan dan memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat agar mereka dapat lebih memahami peran jaksa dalam sistem peradilan, serta mengenali pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi.
Pendidikan dan Pelatihan Berkala
Pendidikan dan pelatihan berkala tentang kode etik harus terus dilaksanakan untuk semua jaksa, baik yang baru bergabung maupun yang sudah berpengalaman. Pelatihan ini tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga etika profesional dan perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku. Dengan meningkatkan kesadaran jaksa tentang kode etik dan etika profesi, diharapkan mereka dapat lebih memahami tanggung jawab moral dan hukum yang mereka emban, serta dapat menghindari pelanggaran terhadap kode etik yang berlaku.
Penerapan Teknologi dalam Pengawasan
Dalam era digital, penerapan teknologi untuk memonitor kegiatan jaksa juga sangat penting. Teknologi dapat digunakan untuk mencatat setiap langkah jaksa dalam menangani perkara, yang akan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Misalnya, penggunaan sistem elektronik untuk melaporkan perkembangan suatu perkara atau rekaman sidang yang dapat diakses oleh publik. Hal ini akan memudahkan pihak berwenang untuk melakukan pengawasan dan mendeteksi pelanggaran yang mungkin terjadi.
Penegakan Sanksi yang Tegas
Penegakan sanksi terhadap jaksa yang melanggar kode etik juga harus dilakukan secara tegas dan adil. Sanksi yang diberikan tidak hanya berfungsi sebagai hukuman, tetapi juga sebagai peringatan bagi jaksa lain agar tidak melakukan pelanggaran serupa. Sanksi ini harus diberikan tanpa pandang bulu, meskipun pelanggar adalah pejabat yang memiliki posisi tinggi dalam sistem kejaksaan. Implementasi sanksi yang adil dan transparan akan memberikan dampak positif terhadap perilaku jaksa secara keseluruhan.
Tantangan dalam Implementasi Kode Etik Jaksa di Indonesia
Meskipun kode etik jaksa di Indonesia telah diatur dengan baik dan memiliki dasar hukum yang jelas, penerapannya masih dihadapkan pada beberapa tantangan yang signifikan. Salah satu tantangan utama adalah budaya kerja yang ada dalam institusi kejaksaan itu sendiri. Dalam beberapa kasus, terjadi konflik antara tugas profesional jaksa untuk menegakkan hukum dengan kepentingan politik atau tekanan dari pihak-pihak tertentu yang ingin memengaruhi jalannya perkara. Hal ini dapat menciptakan situasi di mana jaksa terpaksa mengabaikan kode etik demi kepentingan lain yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan.
Pengaruh Politik dalam Penegakan Hukum
Salah satu tantangan besar dalam penerapan kode etik jaksa adalah adanya pengaruh politik yang kadang kala merusak objektivitas jaksa. Jaksa, sebagai bagian dari sistem peradilan yang beroperasi dalam kerangka negara hukum, tidak seharusnya terpengaruh oleh kepentingan politik, ekonomi, atau sosial lainnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kasus di mana jaksa terlihat tunduk pada tekanan politik, baik dari pemerintah, partai politik, maupun individu-individu yang memiliki kekuasaan. Misalnya, dalam kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat negara atau tokoh penting, jaksa kadang tergoda untuk bertindak sesuai dengan kepentingan pihak yang lebih berkuasa, bukan berdasarkan hukum dan fakta yang ada.
Keadaan ini sangat bertentangan dengan prinsip independensi jaksa yang tercantum dalam kode etik. Dalam hal ini, penting bagi Kejaksaan Agung untuk menjaga agar jaksa tetap dapat menjalankan tugasnya secara mandiri dan bebas dari segala bentuk tekanan eksternal. Penegakan kode etik yang konsisten dan pemberian sanksi terhadap jaksa yang terlibat dalam penyalahgunaan kewenangan adalah langkah yang sangat penting untuk memastikan bahwa prinsip independensi ini tidak terganggu.
Keterbatasan Pengawasan Internal
Meski Kejaksaan Agung sudah memiliki mekanisme pengawasan internal, namun pengawasan terhadap jaksa di lapangan kadang kali terbatas oleh sumber daya manusia, serta adanya potensi persekongkolan atau solidaritas di antara jaksa itu sendiri. Dalam beberapa kasus, jaksa yang melanggar kode etik sering kali mendapatkan perlindungan dari kolega atau atasan mereka, sehingga pelanggaran terhadap kode etik tidak selalu mendapat sanksi yang sesuai. Hal ini membuat pelanggaran menjadi sulit diidentifikasi dan diselesaikan secara efektif.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang lebih konkret dalam meningkatkan pengawasan internal, seperti memperkuat sistem pelaporan anonim dan memperluas pengawasan oleh pihak eksternal, termasuk lembaga pengawas independen yang dapat bertindak sebagai pihak ketiga yang netral. Masyarakat juga perlu diberdayakan dalam peranannya sebagai pengawas agar dapat turut melaporkan dugaan pelanggaran kode etik, yang kemudian dapat diproses secara transparan.
Kurangnya Pemahaman terhadap Kode Etik di Lapangan
Salah satu kendala lain dalam penerapan kode etik jaksa adalah kurangnya pemahaman mendalam tentang kode etik tersebut di kalangan sebagian jaksa, terutama yang baru bergabung dalam dunia profesi ini. Sebagian besar jaksa mungkin hanya mengetahui kode etik secara umum tanpa memahami sepenuhnya konsekuensi dari pelanggaran kode etik tersebut dalam praktek sehari-hari mereka.
Maka dari itu, Kejaksaan Agung harus meningkatkan upaya untuk memberikan pelatihan yang lebih komprehensif, yang tidak hanya mengajarkan isi kode etik, tetapi juga contoh-contoh konkret tentang bagaimana kode etik diterapkan dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh jaksa. Pendidikan yang berkelanjutan mengenai kode etik juga akan membangun kesadaran akan pentingnya nilai-nilai integritas dan profesionalisme dalam setiap langkah yang diambil oleh jaksa.
Perspektif Etika Profesi dalam Menegakkan Hukum
Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Penerapan kode etik jaksa yang efektif tidak hanya bergantung pada tindakan internal dari lembaga kejaksaan, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi kinerja jaksa dan melaporkan dugaan pelanggaran kode etik kepada pihak berwenang. Masyarakat yang teredukasi dengan baik mengenai hak-hak mereka dalam sistem peradilan dapat lebih mudah mengenali ketidakberesan atau pelanggaran yang terjadi selama proses hukum.
Melibatkan masyarakat dalam pengawasan juga dapat meminimalkan risiko korupsi atau penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa. Salah satu cara untuk melibatkan masyarakat adalah dengan menyediakan saluran pelaporan yang mudah diakses, seperti hotline, aplikasi pengaduan online, atau forum-forum yang memungkinkan masyarakat memberikan umpan balik terkait kinerja jaksa.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Media
Selain masyarakat secara umum, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media massa juga dapat memainkan peran penting dalam mengawasi penerapan kode etik jaksa. LSM yang memiliki fokus pada pemantauan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, misalnya, dapat bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi. Media massa, di sisi lain, memiliki peran dalam melakukan investigasi dan menyuarakan dugaan pelanggaran kode etik kepada publik.
Namun, dalam konteks ini, media juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam spekulasi atau fitnah yang dapat merusak reputasi jaksa yang tidak bersalah. Oleh karena itu, kerja sama antara Kejaksaan Agung, LSM, dan media harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan keadilan.
Perspektif Etika Profesi dalam Menegakkan Hukum
Etika profesi jaksa adalah bagian dari etika profesi hukum secara keseluruhan. Etika profesi ini mengatur bagaimana seorang jaksa seharusnya berinteraksi dengan hakim, pengacara, terdakwa, saksi, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan. Selain itu, etika profesi juga mengatur tentang cara jaksa melakukan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap masyarakat dan hukum. Dalam penuntutan, jaksa harus bertindak tidak hanya berdasarkan hukum yang berlaku, tetapi juga dengan mempertimbangkan kepentingan keadilan secara keseluruhan.
Prinsip etika profesi ini menuntut jaksa untuk tidak menggunakan kekuasaannya untuk menekan atau mempengaruhi jalannya perkara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sebagai contoh, dalam kasus yang melibatkan penyalahgunaan narkoba atau korupsi, jaksa harus bertindak tanpa diskriminasi dan dengan landasan keadilan yang universal.
Tantangan Etika dalam Proses Penuntutan
Proses penuntutan adalah salah satu tahap yang sangat krusial dalam sistem peradilan pidana. Dalam banyak kasus, jaksa menghadapi dilema etika yang tidak mudah. Misalnya, saat jaksa harus memutuskan apakah akan melanjutkan suatu perkara yang tidak memiliki cukup bukti atau jika terdapat tekanan eksternal untuk memenangkan kasus tertentu. Dilema-dilema semacam ini memerlukan integritas dan kebijakan yang bijaksana dari jaksa dalam mengambil keputusan, dengan selalu mempertimbangkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Bagi seorang jaksa, kode etik bukan hanya sekadar aturan formal yang mengatur perilaku mereka dalam kapasitas profesional, tetapi juga merupakan pedoman moral yang membantu mereka menjaga objektivitas dan menghindari konflik kepentingan. Etika profesi ini menciptakan landasan yang kuat bagi jaksa untuk menegakkan hukum secara adil, tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
Penutup
Kode etik jaksa adalah instrumen yang sangat penting dalam menjaga integritas, independensi, dan profesionalisme jaksa dalam menjalankan tugasnya. Meskipun penerapan kode etik ini sudah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dan pedoman internal Kejaksaan Agung, penerapannya masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah pengaruh eksternal, terutama politik, serta pengawasan internal yang belum sepenuhnya efektif.
Namun, dengan peningkatan pengawasan, pelatihan yang lebih baik, serta partisipasi aktif dari masyarakat, kode etik jaksa dapat diterapkan dengan lebih konsisten dan efektif. Kejaksaan Agung, lembaga pengawasan, serta masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih transparan, adil, dan bebas dari penyalahgunaan wewenang. Untuk itu, Kejaksaan Agung perlu memperkuat sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, dan memastikan bahwa kode etik dijalankan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, jaksa harus terus diberikan pelatihan dan pendidikan yang menyeluruh tentang kode etik dan etika profesi agar dapat memahami pentingnya kode etik dalam menjalankan tugas mereka. Pada akhirnya, dengan implementasi kode etik yang baik, diharapkan sistem peradilan Indonesia dapat lebih dipercaya oleh masyarakat dan dapat menghasilkan keputusan yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
* Rani Aulia, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman