Andri Fransiskus Gultom
Ada yang samar ketika membaca tulisan Patrisius Istiarto Djiwandono (PID) yang berjudul “Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Tidak Ada Gunanya” (nusadaily.com, 18/09/24). Semakin PID menjelaskan pendidikan karakter, semakin pekat dan samar ekplanasi karakter itu. Mengapa? Saya akan mengiris perlahan-lahan alur pemikirannya, untuk menunjukkan betapa lugu sekaligus naifnya, ia memahami karakter.
Kita mulai dari duduk perkara yang disampaikan PID. Ia kaget dan (mungkin sedikit) geram, karena koleganya, menyampaikan “Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Tidak Ada Gunanya”. Ia tidak menjernihkan, mengapa kekagetan dan kegeraman itu muncul? Di sinilah poin penting yang dilupakan oleh PID, “mengapa?”. Pertanyaan itu yang mampu membongkar duduk perkara inti ihwal pendidikan karakter. Ia membuat dua situasi: pertama, berangkat dari asumsi umum bahwa semua dianggap sudah berwatak baik. Ia menulis,
“semua dosen atau guru di lembaga tersebut sudah berwatak baik, punya integritas tinggi sebagai manusia dewasa maupun sebagai seorang akademikus, dan mampu menanggapi segala kesulitan hidup dengan bijaksana.”
Lalu, ia menyituasikan asumsi positif tersebut dengan asumsi sebaliknya (negatif: dengan pengandaian menidak pada banyak pendidik). Tampaknya, posisi “pendidikan karakter tidak ada guna”, bagi PID ada dalam asumsi negatif ini. Dua asumsi yang dituliskan PID menandaskan gerak pikirannya tautologis, berputar dalam pengandaian (+ & -) dengan resultante nihil. Pengajar yang telah dan tidak berkarakter, tidak ada dalam kategori pedagog ideal. Istilah terakhir ini akan dijelaskan di bagian akhir.
Situasi kedua, PID berupaya mengajukan pendidikan karakter ditanamkan dan dibentuk di lembaga pendidikan (sekolah atau kampus). Dua istilah terakhir yang berada dalam kurung ini dieksplisitkan dengan pilihan subyek: para murid (sekolah), mahasiswa (kampus). Pada situasi kedua ini, PID seolah-olah memosisikan untuk mengeksplanasi bahwa pendidikan karakter, ada gunanya. Ada gunanya, yang dimaksud PID: pendidikan karakter “memang harus ada kesadaran yang dibangkitkan dengan sangat sengaja.” Kesadaran dan kesengajaan itu dilakukan dengan repetisi dalam dimensi kognitif dan sosial. Itulah yang mau disampaikan PID.
Karakter samar-samar
Apa yang samar dari pemikiran PID saat menjelaskan pendidikan karakter? Pertama, karakter itu tidak dimiliki. Artinya, karakter itu tidak menetap permanen dalam logic of having, tetapi in process of becoming. Karakter hampir selalu berubah, karena diri manusia juga berubah seturut zaman (zeitgeist). Maka, karakter ada dalam diri “seseorang” atau “orang”. Dua istilah yang diberi tanda kutip ini berbeda, “seseorang” menandakan adanya eksistensi pada diri subyek yang ditandai pada satu diri manusia. Sedangkan istilah “orang” mengarah pada multiplisitas manusia yang hidup dalam konteks komunitas. “Orang” cenderung terarah pada manusia seri, atau manusia biasa yang kebanyakan. Karakter secara mendasar, berada pada seseorang, bukan pada orang. Karakter pada “orang” itu tidak ada. Karakter berbeda dengan pendidikan karakter. Dua istilah ini, kurang dicermati secara mendetail oleh PID. Ia kurang bisa membedakan secara tegas, antara kedua istilah tersebut. Imbasnya, pemikiran PID mengalami samar-samar alias myopia. Di sinilah, letak kebingungan PID saat menjelaskan pendidikan karakter, karena ia tidak menjelaskan terlebih dahulu, apa itu karakter?
Karakter terlebih dahulu ada, ketimbang pendidikan karakter. Karakter, dengan demikian, mendahului pendidikan karakter. Inilah unsur ontologis dari karakter. Karakter adalah cetakan dasar dalam ruang diri manusia (khôra), yang berada dalam jiwa, yang terberi-yang dihembuskan dari Sang Pemberi Hidup, yaitu kebaikan. Ide ini dimulai dari Platon, yang menganggap bahwa kebaikan sudah ada dari sononya. Tetapi, kemudian, kebaikan itu tidak ada sendirian. Kebaikan diganggu oleh adanya hasrat liar untuk merasa tidak selalu merasa cukup. Analoginya, karakter seseorang dari awal dia ada di dunia, hasrat kebaikan vis a vis dengan hasrat keliaran. Posisi seseorang adalah seperti penunggang kuda yang mampu mengendalikan dengan menarik tali kekang kuda hitam (hasrat liar) dan kuda putih (hasrat baik) agar kereta bisa berjalan dan tiba pada tujuan. Karakter, dengan demikian, hampir selalu ada dalam tegangan hasrat.
Bila karakter hampir selalu ada dalam tegangan hasrat, lantas apakah karakter bisa dididik, dibentuk, dan ditemukan? Kata terakhir dengan sengaja dicoret (tapi dengan sengaja pula tidak dihapus, karena justru di situ letak paradoksnya). Pertanyaan ini tidak ditanyakan oleh PID. Ia sibuk dengan ekplanasi teknis untuk mengambil posisi bahwa pendidikan karakter ada gunanya. Ia, bila dalam konteks waktu penulisan, memilih menjelma sebagai seorang utilitarian, mengambil kegunaan dalam setiap gagasan dan tindakan: dengan pengartikulasian secara verbal dan melakukan kegiatan bakti sosial. Bila begitu, pendidikan karakter hampir tidak pernah ber-ada dan menuju telos: menjadi manusia berkeutamaan in optima forma.
Kemunculan pendidikan karakter, pembentukan karakter, dan penemuan karakter, hampir pasti memiliki kerumitan tersendiri. Kerumitan itu ditunjukkan oleh Doni Koesoema dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global”. Ia menulis demikian,
“Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memiliki tujuan agar setiap pribadi semakin menghayati individualitasnya, mampu menggapai kebebasan yang dimilikinya, sehingga ia dapat semakin bertumbuh sebagai pribadi maupun sebagai warga negara yang bebas dan bertanggung jawab, bahkan sampai pada tingkat tanggung jawab moral integral atas kebersamaan hidup dengan yang lain di dalam dunia.” (Koesoema, 2007:5).
Dimana letak kerumitannya? Saya menafsirkan kutipan di atas: pertama, karakter dididik oleh pihak dari luar diri (guru, dosen, mentor, tutor, komandan, dsb…dsb) terlebih untuk menemukan diri seorang individu yang sedang belajar tersebut. Artinya, seseorang dalam hal ini yang (sedang) belajar diarahkan untuk mengenal dirinya terlebih dahulu, terutama potensi dan aktualitasnya. Pada posisi ini, saya sedikit sepakat dengan pemikiran PID saat menyatakan dengan menulis “seorang insan harus tahu dulu jati diri, ego, kelemahan dan kekuatannya.”
Pedagog Ideal
Namun, problemnya justru muncul persis dengan menanyakan siapakah pedagog yang mampu mendidik karakter? Apakah PID, kolega seniornya, para pendamping karakter, konselor kampus, dan para dosen? Saya tidak yakin. Ketidakyakinan tersebut, karena pihak luar tersebut berada pada jalur formal pendidikan. Karakter bila dididik secara formal, maka hasilnya akan berwujud formal juga. Apalagi jebakan-jebakan administrasi sistemik di lembaga pendidikan formal, hanya bekerja sekedar untuk hasil, bukan proses. Pembelajaran karakter hanya teori yang itu-itu saja, bertatap muka formal, sekedar pindah kamar saat KKN, pengajar nir-etika, program yang dirancang oleh petinggi universitas, tanpa pernah menanyakan plus berkomunikasi intens dengan para pembelajar. Petinggi universitas malah sibuk menggunakan kekuasaan untuk mengeruk laba, mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya, menjadi homo economicus tanpa mau memprioritaskan karakter para mahasiswa. Mereka yang di dalam institusi pendidikan, bermain-main dengan kekuasaan, berhati tamak, culas, korup, “penjilat banyak bacot“, artinya bermain-main dengan “iblis”, tanpa tahu imbasnya, jiwa bisa hanyut sekaligus lenyap. Inilah yang disebut dark university.
Pertanyaan penting yang ditanyakan: kualitas (keutamaan) apa yang mengendap dalam diri pembelajar? Bila tidak ada pertanyaan ini, maka pendidikan karakter, tidak ada. Karena, pengelola lembaga pendidikan tidak mengerti dan kurang memprioritaskan karakter dalam program kerjanya. Situasi ini membuat pendidikan karakter menjadi beku, dingin, dan tanpa rasa sehingga membuat manusianya menjadi sekedar frozenman/frozenwoman.
Siapa pedagog yang ideal mendidik karakter? Pertanyaan paling mendasar inilah yang dilupakan PID. Orangtua dalam keluarga adalah pedagog ideal. Orangtua, dalam hal ini tentu tidak disimplifikasi adalah semua orangtua. Orangtua sebagai pedagog, idealnya mereka yang memiliki keutamaan (kebaikan, kehati-hatian, ugahari, dan kesederhanaan). Mereka juga menciptakan lingkungan yang memampukan anak-anak untuk bercakap-cakap, dan tidak takut mengungkapkan rasa, pengalaman, dan kegelisahan. Di sinilah, posisi penting orangtua sebagai pedagog, yang memberikan nilai-nilai untuk membentengi anak-anak mereka dari pengaruh negatif, dan perkembangan teknologi yang begitu cepat. Lantas, apakah pendidikan karakter memang tidak berguna? Ya, memang tidak berguna bila dijalani secara formal di lembaga-lembaga kaku, beku, dan tanpa pikiran, yang membuat siapa saja yang berada di dalamnya, terbelenggu, dan menjadi lugu.