Catatan Atas Kekeliruan Buku PPKn Kelas VII
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akhirnya menarik buku ajar Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) karena adanya kekeliruan dalam menuliskan ajaran Trinitas agama Katolik dan Kristen Protestan. Dalam buku ajar itu, disebutkan bahwa Tuhan umat Kristen Protestan dan Katolik adalah Allah, Bunda Maria, dan Yesus Kristus sebagai Tiga yang Tunggal atau Trinitas. Ini jelas sangat keliru karena ajaran Kristiani tentang Trinitas tidaklah demikian. Sebaliknya, dalam ajaran Trinitas Kristiani, Tuhan adalah Esa sesuai dengan sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sama seperti ajaran agama lainnya. Namun, Tuhan yang Esa itu hadir atau mewujud dalam tiga pribadi, yakni Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kekeliruan tersebut. Pertama, kurangnya kehati-hatian dari penulis buku ini, siapapun dia dan apapun agama yang bersangkutan. Termasuk tentu saja lembaga yang bertanggung jawab atas lahirnya buku itu, yakni Kemendikbudristek. Jika penulisnya seorang Katolik atau Kristen Protestan, maka kesalahan ini sungguh memprihatinkan karena menunjukkan rendahnya pemahaman yang bersangkutan terhadap agama yang dianutnya. Namun, jika penulisnya bukan penganut Kristen Protestan ataupun Katolik maka ini juga sama memprihatinkannya karena ketidakmauannya melakukan crosscheck terhadap sumber-sumber yang dapat diandalkan. Sederhananya, bagaimana mungkin Ia menuliskan sesuatu hal yang sangat penting bagi penganut agama lainnya dari pengetahuan sepintas lalu. Sederhanya, apakah Ia tidak mempunyai teman yang beragama Katolik ataupun Kristen Protestan yang dapat dirujuk untuk menjelaskan hal itu? Namun, yang jauh lebih memprihatinkan adalah: bagaimana mungkin di era internet saat ini di mana informasi dapat dilacak dari beragam sumber, tetapi masih keliru dalam menuliskan suatu konsep universal dari suatu agama padahal sumber-sumber yang dapat dirujuk sangat kaya? Kecerobohan semacam ini sekali lagi sungguh memprihatinkan.
Perlu disadari bahwa Tuhan atau Allah mempunyai peran yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keyakinan akan adanya sang Pencipta dan kebutuhan-kebutuhan akan agama telah masuk ke dalam tradisi masyarakat Indonesia selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Banyak peninggalan situs agama baik Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, dan agama lokal yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kesemuanya itu menunjukkan betapa religiusnya Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dasar negara Indonesia yang menjadi filsafat dasar meletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, bukan kedua ataupun ketiga. Ini jelas mengandung maksud.
Pertama, negara kita bukanlah negara agama. Namun, negara melindungi hak-hak warga negara untuk meyakini dan melaksanakan agamanya. Artinya, negara menjamin kehidupan beragama setiap warga negara tanpa terkecuali. Hak-hak yang dilindungi oleh negara ini tentu mempunyai implikasi bagi warga negara lainnya, yakni keharusan untuk menghormati keyakinan dan agama orang lain. Kita dilarang keras untuk merendahkan agama lainnya dengan alasan apapun sehingga baik pemiluk Kristen, Islam, Hindu, Budha, Konghucu, dan bahkan agama-agama lainnya diberi hak hidup yang sama, dan setiap warga negara lainnya harus menghormati hal itu. Maka, menuliskan sesuatu secara sembarangan berkaitan dengan sila pertama jelas melukai Pancasila.
Kedua, sila Ketuhanan diletakkan dalam sila pertama bukanlah tanpa maksud. Sebaliknya, sebagaimana dikemukakan Panitia Lima (Hatta dkk, 1977), sila pertama (dan juga sila kedua) adalah landasan moral. Sebagaimana dikemukakan, “Di bawah pengaruh dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang akan dilaksanakan itu hendaklah berjalan di atas kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, kesucian dan keindahan.” Dengan mendasarkan pada pandangan ini, kiranya tidaklah sulit untuk mengatakan bahwa kesalahan penulisan dalam buku PPKn kelas VII bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila ini. Ironis memang karena kesalahan itu justru berada dalam “rumah”, yang sebenarnya ditujukan untuk memberikan pengajaran mengenai Pancasila. Filsafat Indonesia yang sangat luhur, dan menjadi dasar filsafat penyelenggaraan negara Indonesia.
Akhirnya, sebagai penutup tulisan singkat ini, saya menyarankan pentingnya semua pihak terutama elit yang memproduksi pengetahuan mengenai Pancasila untuk hati-hati, dan menjadi suri tauladan. Seringkali, rakyat dikatakan tidak memahami Pancasila sehingga perlu dilakukan ini dan itu. Namun, pada kenyataannya, banyak di antaranya justru kurang memahami Pancasila, baik sebagai filsafat dan ideologi negara, ataupun dalam kedudukan lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.