Selama ini, kita sudah sangat biasa mendengar ungkapan “negara demokrasi liberal”, “negara sosialis-demokrasi (welfare state)”, “negara komunis”, “negara-negara kapitalis”dan seterusnya dalam banyak forum atau tulisan-tulisan ilmiah dan artikel koran. Namun, jarang sekali, kita mendengar ungkapan “negara Pancasila”. Beberapa cendekiawan seperti Prof. Mubyarto memperkenalkan “ekonomi Pancasila”, sedangkan lainnya seperti Franz Magnis-Suseno memformulasikan “demokrasi Pancasila”. Rezim Orde Baru terus-meneruskan menekankan demokrasi Pancasila, tapi sayangnya demokrasi dalam tafsiran Orde Baru justru kontraproduktif dengan yang dimaksudkan Pancasila. Ini karena “demokrasi Pancasila”versi Orde Baru adalah demokrasi yang justru dekat dengan negara-negara otoriter.
Secara sederhana, ungkapan negara demokrasi liberal menyiratkan sistem filsafat yang mendasari didirikan atau dibentuknya negara tersebut. Negara liberal didasarkan pada filsafat liberal. Pun dengan ungkapan negara komunis. Hal yang mendasari didirikan atau dibentuknya negara tersebut adalah filsafat marxis karena komunisme adalah tafsir lanjut atas filsafatnya Marx. Lenin menerjemahkan filsafat Marx tersebut ke dalam negara komunisme Uni Soviet. Jika argumen ini diterima, maka negara Pancasila tidak lain adalah negara yang mendasarkan diri pada filsafat Pancasila. Di sinilah, perlu kita pahami: apakah filsafat Pancasila itu?
Pancasila sebagai “genetivus subjectivus” ataukah “genetivus objectivus”
Banyak orang mempertanyakan apakah Pancasila merupakan sistem filsafat? Bagaimana sebuah sistem filsafat dapat dibangun ketika sistem filsafat itu terdiri ke dalam lima sila yang terpisah satu dengan lainnya, dan bahkan bertentangan?
Untuk menjawab masalah ini, dalam membedah pemikiran filsafat Pancasila, perlu dibedakan antara “genetivus subjectivus” dan “genetivus objectivus.” Pancasila dalam arti “genetivus subjectivus” ditempatkan sebagai subjek, sebagai perspektif atau objek formal. Oleh karena Pancasila menjadi objek formal atau perspektif, maka filsafat sebagai objek yang dijadikan pokok pembicaraan. Sebaliknya, Pancasila sebagai “genetivus objectivus” mengandaikan filsafat (umum) sebagai subjek, sebagai perspektif (objek formal). Pancasila diandaikan sebagai objek yang dibicarakan (Wibisono, 1981).
Selama ini, yang banyak dilakukan orang adalah membicarakan Pancasila sebagai “genetivus objectivus” sehingga keberadaan Pancasila sebagai filsafat dipertanyakan terus-menerus melalui filsafat lain, misalnya, filsafat Barat. Dengan begitu, banyak orang meragukan bahwa Pancasila adalah sistem filsafat karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat Barat. Padahal, dalam membicarakan Pancasila, perlu kiranya mulai diperluas keberadaan Pancasila sebagai “genetivus subjectivus” yang memungkinkan Pancasila sebagai subjek atau objek formal. Perspektif yang digunakan untuk melihat persoalan, termasuk dalam hal ini mengenai filsafat politik negara. Dalam persoalan ini, yang hendak dibicarakan adalah bagaimana filsafat Pancasila melihat keberadaan negara? Atau, dengan kata lain, seperti apa negara yang didasarkan pada filsafat Pancasila atau yang nanti kita sebut sebagai negara Pancasila itu?
Manusia sebagai dasar ontologi
Untuk menemukan hakikat filsafat Pancasila, kita harus berpaling kepada dasar ontologis filsafat Pancasila. Sebagaimana layaknya pemikiran filsafat Barat, filsafat Pancasila mempunyai dasar ontologi yang sama, yakni manusia. Drijarkara (2006) mengemukakan bahwa Pancasila inherent (melekat) pada eksistensi manusia-sebagai-manusia, lepas dari keadaan tertentu pada konkretnya. Oleh sebab itu, menurut Drijarkara, jika kita memandang kodrat manusia qua talis (sebagai manusia), kita akan sampai pada Pancasila.
Dengan merujuk pada gagasan Drijarkara ini, upaya memahami Pancasila sebagai filsafat tidak lain dan tidak bukan kecuali memahami manusia itu sendiri. Di sinilah, pokok perdebatan itu muncul karena setiap aliran filsafat memandang manusia dalam beragam konsepsi. Sebagai misal, neoliberalisme yang dikembangkan dari filsafat liberal memahami manusia sebagai makhluk ekonomi. Dalam konsep neoliberalisme, manusia homo economicus ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya. Oleh karena itu, negara haruslah memperluas kondisi manusia homo economicus tadi dengan memberikan keluasan untuk berusaha. Inilah yang mendasari proyek liberalisasi ekonomi di banyak negara, termasuk tentu saja Indonesia. Mereka berasumsi bahwa dengan diberikan manusia kebebasan berusaha, maka kesejahteraan dan keadilan akan terwujud. Sayangnya, sebagaimana banyak pengritiknya menunjukkan, kesejahteraan hanya dinikmati segelintir orang, dan keadilan jauh dari yang diharapkan. Pancasila menolak pandangan ini.
Dalam filsafat Pancasila, layaknya filsafat timur, keseimbangan atau harmoni menjadi gagasan pokoknya. Dalam ungkapan Notonagoro (1987), Pancasila yang menjadi dasar filsafat atau dasar kerohanian negara bagi bangsa Indonesia terdiri atas manusia-manusia. Menurut Notonagoro, manusia itulah yang mempunyai sifat dan yang berkerohanian, dan manusia itulah yang menjadi pendukung Pancasila. Oleh karena itu, dalam Pancasila, tersimpul yang mutlak tentang manusia. Manusia ini bersifat monopluralis. Drijarkara menyebutnya sebagai “kedwitunggalan”, dwaita-adwaita.
Manusia dalam ketunggalan mutlak dalam kedudukannya sebagai makhluk pribadi dan makhluk ciptaan Tuhan, sifatnya kodratnya sebagai makhluk individu dan sosial, serta susunannya yang terdiri dari jasmani dan rohani atau jiwa dan raga. Memang, dalam pandangan Drijarkara, jiwa manusia atau kerohanian atau “siapanya”manusia lebih penting. Namun, “siapanya” ini tidak akan bermakna apa-apa tanpa “apa” manusia itu. Jadi, kejiwaan hanya mungkin bermakna dalam ketubuhan jasmani, dan ketubuhan jasmani hanya bermakna dalam kesatuannya dengan jiwa. Pandangan ini nantinya akan mempengaruhi konsepsi negara. Misalnya, meskipun negara tidak mendasarkan pada agama tertentu, tetapi negara mengakui adanya Tuhan (sila pertama) sehingga tidak memungkinkan adanya pengakuan atas ateisme. Ini karena secara kodrat manusia, dalam hal kedudukan, manusia adalah makhluk pribadi dan sekaligus ciptaan Tuhan. Pengakuan atas kodrat ini memungkinkan negar- yang merupakan konsekuensi eksistensial manusia-untuk mengakui dan melindungi agama dan kepercayaan warganya, sekaligus menjadi dasar bagi negara untuk melakukan “intervensi”atas kehidupan agama warganya. Saya akan menguraikan hal ini secara panjang lebar pada tulisan kedua.